Ilma Hidayati Purnomo

Hikmah Road Trip dan Alasan Kenapa Aku Jadi Supir

Semua pengalaman pasti mengandung hikmah, sekalipun itu cuma perjalanan dadakan, minim persiapan, hingga balik kanan pulang di tengah jalan. Begitupun dengan perjalanan 5 hari 4 malam ini, sungguh mengajariku banyak hal.

Sebelum itu, izinkan aku menjelaskan pertanyaan: Kenapa aku yang mengendarai mobil hingga sejauh itu? Ternyata alasannya ada banyak heu

Alasan Aku Jadi Supir

Baiknya aku cerita dikit dari masa laluku, ya.

1. Secara teknis, jam terbangku lebih lama

Aku mulai mengendarai mobil sejak kelas dua SMA, tahun 2010. Meskipun waktu itu aku belum dapat SIM (yang akhirnya aku dapatkan setelah 'nembak'), tapi aku mulai curi-curi mengendarai mobil ke tempat les ketika hujan. Alasannya, enggak bakal ada polisi yang operasi di kala hujan turun.

Suamiku baru mulai belajar menyetir ketika kuliah. Ia berlatih dengan mobil ayahnya di kampung halaman. Ketika kuliah di Bandung, dia tidak menyetir sama sekali. Sedangkan aku, terus menerus menyetir dari rumah ke kampus hingga beres kuliah. Tidak jarang juga aku jadi supir teman-temanku kalau ada kegiatan kampus (atau sekedar nganterin mereka pulang habis kerja kelompok bareng).

Saat awal nikah dan masih tinggal di rumah orang tuaku di Bandung, masih aku juga yang nyetir. Pasalnya, suamiku tidak terbiasa dengan mobil matic. Mobil ayahnya masih menggunakan porsneling manual. Pokoknya dia masih tampak kikuk dengan dunia menyetir dan aku pun masih belum percaya dengan kemampuan menyetirnya.

Aku ingat ketika kami masih bulan madu, suamiku membawa mobilku ke daerah Punclut (kalau gak salah ingat). Roda mobil kami sempat terperosok ke dalam parit. Soalnya jalan yang kami lewati itu sempit (ditambah ada mobil papasan) dan menurun. Otomatis suamiku mencoba menghindari mobil papasan dengan mepet pinggir. Eh, kebablasan.

Sejak saat itu, selama di Bandung, selalu aku yang nyetir. Kalau lagi tinggal di rumah orang tuanya, di Trenggalek, barulah dia yang nyetir, karena aku udah enggak terbiasa dengan mobil manual. Walaupun pada akhirnya, saat suamiku berangkat ke US dan aku masih di Indonesia, aku sering mengantar ibu mertua belanja kebutuhan toko dengan mengendarai mobil manual itu.

Sampai akhirnya kami sama-sama tinggal di Amerika. Awalnya kami belum berencana beli mobil hingga aku kebobolan hamil dan merasa butuh mobil. Suamiku yang menyetir, pada awalnya. Soalnya, ternyata, semakin bertambahnya usia, keberanianku untuk menyetir jadi berkurang. Kalau dulu pas masih muda berani nantangin, mepet mobil lain yang cari gara-gara, waktu awal punya mobil, nyetir di sini terkesan menakutkan.

Gimana enggak, setirnya beda posisi, peraturannya beda, dan orangnya ngebut-ngebut. Ya iyalah, pakai satuannya mph. 40mph berasa pelan padahal itu kan setara 60km/jam. Terus jalannya ribet gitu. Masa' banyak perempatan tanpa lampu merah?

Sejak beli mobil, kemampuan menyetir suamiku sudah jauh lebih baik. Pengetahuan tentang mobil pun lebih mumpuni. Mungkin karena akhirnya dia punya mobil yang harus dirawat sendiri jadi sudah banyak browsing.

Lalu, kejadian tak terduga menimpa kami. Mobil kami sempat perlu perbaikan karenanya. Setelah selesai diperbaiki, suamiku memberi mandat, "Mulai sekarang, kamu yang nyetir mobil, ya." Alasannya? Lanjut ke poin kedua.

2. Ujian SIM perlu persiapan

Di sini, kami gak bisa dapat SIM tembak wkwk. Namun, sebetulnya gampang, kok, buat dapetin SIM. Asalkan mau belajar ujian tulisnya aja. Cukup dengan latihan soal online juga bisa lulus tapi kan perlu waktu. Saat itu suamiku masih sibuk sama risetnya. Jadi kegiatan belajar untuk ujian SIM diserahkan kepadaku.

Lha, tapi kan ada ujian praktek juga? Bukannya tadi aku bilang takut nyetir di negara asing? Suamiku bertanggung jawab ngajarin aku nyetir sebelum ujian. Setelah belajar teori buat ujian tulis pun aku mulai mengenal tanda-tanda di jalan, respon yang harus aku lakukan dalam situasi tertentu, intinya knowledge gives power. Sebab aku sudah tahu ilmunya, aku jadi berani.

Berangkat ujian SIM pun dianter sama temen suami dan awalnya aku yang nyetir meskipun belum berani masuk interstate (jalan tol). Lama kelamaan, alhamdulillah sudah mulai terbiasa.

Selain karena persiapan ujian SIM yang butuh waktu, ada sifatku yang lebih cocok buat nyetir. Next di poin ketiga.

3. Sifatku ceroboh

Lho, orang ceroboh kok disuruh nyetir? Biarkan aku jelaskan dulu, ya. Jadi, meskipun pas road trip kemarin aku nyetir sampai 31 jam dalam 5 hari, suamiku tetap mengawasiku. Ia memperhatikan kondisi jalan, mengarahkanku sesuai dengan peta, dan memberikan banyak koreksi.

Secara sifat, suamiku itu lebih hati-hati dibanding aku. Bisa diibaratkan, sebagai seorang penulis, aku terus menulis dengan memperhatikan EYD semampuku. Nah, suamiku itu seperti "editor" yang lebih teliti dalam melihat kesalahan dan memberikan masukan perbaikan. Bukankah lebih masuk akal kalau editor itu orang yang sifatnya lebih berhati-hati?

Kami pernah mengalami suatu kejadian tidak menyenangkan. Kala itu, suamiku yang menyetir, sedangkan aku yang memberi petunjuk arah. Selain karena aku tidak familiar dengan jalannya, rupanya mataku sempat meleng sebentar sehingga terjadilah suatu insiden.

Selain untuk kepentingan mengemudi, buat mempersiapkan dokumen penting pun alurnya hampir sama. Aku yang menyiapkan terlebih dahulu, baru dicek sama suamiku.

Selain aku ini lebih ceroboh, aku juga punya kelemahan lainnya, yaitu di poin selanjutnya.

4. Lemah dalam navigasi

Betul, kita semua sekarang sudah bergantung dengan aplikasi peta. Hanya saja, perintah yang keluar dari aplikasi itu kadang terasa kurang manusiawi. Dikasih perintah belok 500 meter sebelum belokan dan dua detik sebelum belok. Yang pertama, terlalu awal. Yang kedua, terlalu mepet. Jadilah belokannya terlewat.

Nah biasanya suamiku tetep minta aku ngecek belokannya di mana. Namun, saat ngecek peta dan membandingkan dengan kondisi jalan, aku sering kebingungan. Mungkin aku kurang punya sense, 100 m di depan itu belokan yang dicapai dalam berapa detik? Ya gitulah.

Belum lagi, karena aku ragu, perintah yang aku lontarkan ke suami jadi kurang tegas dan berakibat suamiku gak jadi belok. Padahal ya, kalau aku nyetir sendirian atau cuma sama anak-anak, aku juga pakai aplikasi peta di smartphone. Aku dengerin perintahnya dan nyocokin sama peta di layar di dashboard mobil. Jarang nyasar, tuh ...

Intinya, daripada aku kena semprot suami atau berantem, mending dia aja yang ngeliatin peta. Aku mah gak bakalan marah mau dia salah belok juga. Paling ketawa-ketawa doang.

5. Penanganan anak rewel

Satu tantangan yang sulit ditangani saat melakukan perjalanan jauh adalah anak yang merajuk. Oh bukan, mungkin aku harus perjelas situasinya. Ketika anak mulai bosan duduk tenang, mulai mengerang, meminta yang aneh-aneh, hingga menangis dan berteriak. Kalau udah kayak gini, jangankan nyetir, lagi rebahan di rumah juga rasanya jadi enggak enak, kan.

Nah, secara umum, anak-anakku emang lebih manja dan lebih berani ke aku. Kalau mereka mau rewel, ya rewel pol to the max, susah menenangkannya. Kecuali pikiranku sedang sangaaat tenang dan rileks, mungkin aku bisa menjinakkan mereka dengan baik.

Kalau mereka melihat aku enggak sibuk nyetir, bah, bisa-bisa aku jadi sasaran empuk kerewelan mereka. Minta makan lah, minum lah, atau sekedar merengek aja. Kalau aku nyetir, mereka paham ibunya gak bisa diganggu gugat.

Selain itu, suamiku cukup tegas tapi kreatif dalam menangani anak rewel. Anak-anak cenderung lebih nurut sama bapaknya. Jadi kerewelan mereka lebih cepat mereda kalau ditangani suamiku. 

Keuntungan lainnya, kalau aku udah capek, suamiku biasanya nyuruh aku istirahat (kalau udah sampai hotel/rumah) dan dia bertanggung jawab menangani anak rewel setelah perjalanan. Haha, dapet bonus.

6. Dilarang tidur di perjalanan

Heu, masa mudaku itu habis buat tidur. Besok mau ujian di kampus, malam ini aku milih tidur. Besok ada deadline tugas berat bikin pusing kepala, malam ini aku milih tidur. Diajak teman nongkrong, aku milih tidur di rumah. Lagi break jadwal kuliah beberapa jam? Aku milih tidur di perpus!

Oh, masih terkesan normal? Aku nunggu Mamaku ngantri di bank, aku milih tidur di kursi sambil menyandarkan badan. Lagi kuliah sama dosen killer, aku milih tidur asalkan gak berisik. Dah lah, pokoknya aku cinta tidur. Titik.

Lah, ini, lagi perjalanan panjang di dalam mobil malah suamiku melarangku untuk tidur? Dia bercanda. Mana bisa, lah! Mencium aroma kursi mobil aja rasanya ngantuk.

Makanya, daripada duduk di kursi penumpang pun aku gak boleh tidur, mending aku aja yang nyetir. Kalau aku ngantuk, kan jelas gak bisa tidur. Biasanya aku minta makanan atau minta diajak ngobrol. Soalnya suamiku lebih jago nyari topik obrolan.

Nyetir mobil
Nyetir mobil pas road trip kemarin pakai gamis dan kerudung yang sama selama 4 hari

Demikianlah sejumlah alasan kenapa aku yang nyetir. Di samping itu kemauanku, desakan keadaan, ya memang perintah suami wkwk. Yuk, lanjut topik kedua tentang hikmah perjalanan kali ini.

Hikmah Road Trip ke Georgia

Beberapa hikmah sudah aku tuliskan di bagian paling akhir cerita tentang road tripku. Aku beri penjelasan lebih detail di sini. 

1. Riset dan perencanaan perjalanan

Sebenarnya udah lama aku tuh dituntut untuk bisa melakukan riset dan perencanaan perjalanan dengan baik. Hampir sejak awal menikah, tapi aku selalu gagal melakukannya. Parahnya lagi, gara-gara aku tidak mengindahkan permintaan suamiku ini, pasti berakhir dengan pertengkaran. 

Awal mulanya sejak sebulan setelah menikah, suamiku dapat kesempatan intership di CERN di Swiss. Aku kan cuma nemenin doang. Sendirian di apartemen pas suami lagi ke kantor, nyatanya aku enggak berinisiatif buat bikin rencana perjalanan ke Perancis kek, atau Roma kek. Rebahan doang (nyeselnya masih berasa sampai sekarang). 

Akhirnya emang tetep pergi, tapi suamiku yang ngerencanain sambil bersungut-sungut wkwk. Nah, kemarin pas road trip ke Georgia, dia yang ngerencanain juga sih. Tapi sepertinya 5 tahun menikah sudah membuatnya memaklumi diriku yang belum "passion" dalam merencanakan perjalanan. 

Kalaupun aku pernah melakukannya, masih belum dengan semangat dan senang hati gitu. Masih ada sedikit perasaan terpaksa. Hah ... Seandainya merencanakan bepergian sama menyenangkannya dengan menuliskan kejadian-kejadian selama bepergian di blogpost ... 

Eh? Ide bagus, ya! Gimana kalau aku mencoba merencanakan perjalanan dalam bentuk narasi sambil membayangkan kalau aku ke sana apa yang bakal terjadi. Tapi ... Riset dan browsing-nya itu lho. Butuh waktu, tenaga, pikiran haha

Kalau kamu punya ide lain supaya tumbuh keinginan dari dalam diriku untuk terjun di bidang perencanaan perjalanan, tolong isi di kolom komentar, ya! 

Walaupun kali ini planning-nya dilakukan oleh suami dengan senang hati, nyatanya, ketika jalan, malah gonta-ganti. Awalnya cuma mau pergi ke Mammoth Cave yang jaraknya cuma 5 jam perjalanan. Eh, ganti rencana mau bablas sampai Florida yang butuh 21 jam perjalanan. Di tengah jalan, sampai Georgia, balik arah, pulang 😅

2. Tujuan road trip yang anti-mainstream

Sebetulnya perjalanan ini tetep seru, kok, meskipun tujuannya ganti-ganti. Karena pada akhirnya, tujuan road trip ini bukan: berlelah-lelah dan terburu-buru mengendarai mobil hingga sampai ke tujuan lalu menghabiskan waktu dan tenaga di suatu tempat, terus pulang. Kayak misalnya sampai di Disney World Florida, setelah 3 hari nyetir, bayar $830 buat masuk empat orang (hampir Rp 13.000.000 untuk satu hari), habis capek, terus pulang. Di mobil udah bawaannya ngebet mau pulang.

Tujuan road trip kami bukan seperti itu, ya, meskipun enggak salah juga. Selama road trip, kami memang tidak berkunjung ke tempat wisata apapun. Namun, kami menikmati pemandangan selama di perjalanan. Melihat banyak bukit, pepohonan, juga menikmati suhu yang masih hangat. Yang jelas, kami mencari hal yang berbeda dari apa yang biasa kami lihat di Kota Chicago.

Di sini kan termasuk kota metropolitan. Di mana-mana isinya jalan raya dan banyak mobil. Satu-satunya pemandangan alam hanya bukit. Mau jalan-jalan ke perbukitan, jauh banget. Minimal memang membutuhkan waktu 5 jam perjalanan (satu hari perjalanan kalau kayak road trip kemarin). Kami memang ingin cuci mata wkwk

Selain menikmati perjalanan, tujuan road trip kami adalah menyambung silaturahmi. Setidaknya kami mengunjungi tiga teman di kota lain. Tujuan ini lebih menyenangkan bagiku. Selain membuat lelah tidak terasa, kami dijamu dengan masakan Indonesia. Seperti di rumah Mbak Fitri, kami jadi bisa makan bubur ayam lagi. Kayaknya terakhir makan bubur ayam 6 tahun yang lalu, deh 😢

3. Pengalaman menata pengeluaran selama perjalanan

Selama perjalanan 5 hari 4 malam, kami menginap di 4 hotel bintang 2, membeli makanan hanya 3 kali, dan berkunjung ke supermarket 2 kali. Total pengeluaran yang kami habiskan $637.5 (sekitar Rp 10.000.000) yang sebagian besarnya untung penginapan dan bensin. Setelah aku pikir-pikir, ini kelewat hemat, sih.

Kami tidak bawa bekal makanan berat atau nasi, hanya roti dan buah-buahan. Awalnya kami pikir takut ribet, mending beli aja. Nyatanya, kami cuma beli makan satu kali sehari. Sarapan kami hanya dengan buah dan roti atau sarapan di hotel alanya orang bule. Kami biasanya makan hanya di malam hari, beres perjalanan hari tersebut.

Sepanjang perjalanan sih awalnya aku merasa baik-baik aja. Mengemudi kendaraan 5 atau 8 jam sehari masih kuat. Hingga hari ke tiga, maagku sampai kambuh dan kepalaku sakit. Wajar lah, kurang makan. Alhamdulillah, di malam hari keempat dan hari kelima kami dapat perbaikan gizi setelah mengunjungi rumah Mbak Fitri dan Pak Aria haha

Sampai di Chicago, keesokan harinya tenggorokanku sakit. Besoknya lagi aku sakit batuk sampai dua minggu dan sempat demam. Setelah perjalanan pun berat badanku turun langsung satu kilo.

Pelajaran pentingnya, kalau road trip lagi, aku mau mengusahakan masak masakan yang awet dan bisa dimakan kapanpun saat lapar. Ada pengalaman, tips, atau resep masakan yang cocok untuk road trip enggak? Mohon share di kolom komentar, ya!

Kasus kelewat irit kami tidak cuma di situ saja. Bayangkan, satu baju gamis aku pakai untuk menyetir selama 4 hari! Gimana enggak, aku cuma bawa satu set baju ganti serta dua rangkapan kaos dan celana legging. Jadi, selama 4 hari perjalanan, baju dan kerudung yang aku pakai sama saja, hanya berbeda rangkapan dalamnya. Bahkan, kalau udah dirasa bau keringat, aku cuci kaos rangkapan dalamnya pakai shampoo dan dikeringkan di penghangat ruangan.

Di salah satu kunjunganku ke supermarket itu, ya, buat beli baju dalamku selain beli makanan wkwk. Oh, ada satu kejadian yang lebih parah. Diapernya Zayn habis. Eh, pas di jalan dia poop sampai bocor ke mana-mana. Terpaksa melipir ke supermarket lagi, belu baju dan diaper buat dia. Wkwk

Dari pengalaman itu aku belajar untuk lebih mempersiapkan perjalanan dengan baik. Eh tapi, kalau dipikir-pikir, ternyata punya baju sesedikit itu pun enggak masalah, ya. Maksudku, aku tidak perlu punya baju sampai 60 pasang hanya untuk bertahan hidup. Punya baju 2 pasang pun cukup.

Pulang dari road trip lalu mengintip lemari, jadi ada rasa bersalah menghampiri. Baju yang tergantung itu kan tidak semuanya bisa aku pakai setiap hari. Terpikir, bagaimana hisabku nanti jika ditanya tentang baju-baju ini? 😭

4. Menikmati nikmat sederhana

Setelah 8 jam nyetir, sampai di hotel, mandi terasa sangat mewah. Disiram air panas dari shower, punggung terasa seperti dipijat. Duuh, nikmaaat!

Habis itu, rebahan di kasur juga rasanya bikin lega. Habis seharian duduk, tangan juga tegang megangin stir mobil, otot-ototku kayak rileks seketika.

Beneran deh, nikmat mana lagi yang aku dustakan? :')

Coba kalau lagi di rumah aja seharian. Rebahan di kasur dan mandi tidak terasa senikmat itu. Huhu, we take it for granted. Sekalinya nikmat itu bisa kita ambil secara terbatas, baru terasa banget deh kenikmatannya.

Eh, tapi aku jadi sering mandi sih. Begitu sampai di hotel, langsung mandi. Sebelum berangkat, mandi juga. Biasanya kalau di rumah doang ... sering skip wkwkwk

Demikianlah kesan-kesanku selama perjalanan. Penasaran cerita lengkap road trip kemarin? Cus, baca keenam serinya!


Ilma Purnomo (Mama Razin)
Perempuan Indonesia yang saat ini tinggal di Chicago, USA, menemani suami kuliah doktoral. Seorang ibu rumah tangga yang disibukkan oleh dua putranya (Razin dan Zayn). Suka menulis dan belajar hal baru.

Related Posts

33 komentar

  1. Aku bacanya penuh dg ketawa, mbayanginnya itu hlo, ada rasa kasihan, sedih, berat, tapi ya lucu juga, kwkwkwk. Butuh sense buat baca peta ya mbak, banyakin jam terbang dan butuh jalan² terus deh mbak. Biar 100m yg dimaksud enggak kelewat. Hhhe, jadi mbayangin diri sendiri no h

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwk rasanya nano-nano. Iyaa, perlu latihan. Tapi kalau jadi navigator buat suami, rasanya ada tekanan sendiri. Nah, kalau dibawah tekanan, aku malah jadi lebih sering bikin kesalahan. Semakin kena semprot lah aku haha

      Hapus
  2. ini seru banget road tripnya, jadi bisa adaptasi juga sama jalanan asing yaa. tapi pulang-pulang berasa banget capenya ga siii, cape tapi puas hahahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa. Lain kali lewat jalanan di state lain udah gak terkaget-kaget lagi.

      Capek emang. Tapi seru karena ceritanya banyak :D

      Hapus
  3. Wah aku heran perasaan malah enak pake mobil matic deh daripada yang manual menggunakan kopling bagiku lebih sulit, karena konsentrasinya yang harus dibagi-bagi. Kadang pernah sekali mencoba, mau injak rem malah injak kopling, bukannya berhenti malah tambah ngebut hha. Tapi btw road tripnya asik banget sih, apalagi bisa berkeliling keliling dari lokasi satu ke lokasi lainnya seperti ini hhi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurutku juga lebih enak matic. Tapi kata suami, mobil matic punyaku dulu itu pedal gasnya kurang responsif dan pedal remnya terlalu cetek. Perlu penyesuaian aja sih buat awal-awal pakai.

      Haha emang semua jenis mobil perlu pembiasaan dulu yaa

      Hapus
  4. Sebenarnya. Kalau dipikir-pikir. Aku juga lebih suka saat perjalanan sih kalau ke mana-mana. Bisa melihat apapun di jalanan. Meski aku juga nggak tahan ngantuk.
    Akan selalu ada suka dan duka saat road trip. Yang bisa jadi cerita saat nanti-nanti.
    Dan nggak selalunya ya bapak-bapak gengsi disetirin mamak-mamak. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waktu aku masih gadis, pas di perjalanan dan Papaku yang nyetir, aku pasti kena sindir gara-gara gak menikmati perjalanan dan tidur wkwkwk

      Okay. Sekarang aku bisa menikmati perjalanan karena dilarang tidur 😆

      Yup. Betul-betul :D

      Hapus
  5. waaa aku terpana baca pake gamis sama kerudung sama 4 hariiii?
    mbake seperti biasa, yang aman dan enak di jalan adalah : kering tempe - rendang - terik daging - kalo ga suka pedes ya buat yang ga pedes gitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaaa hahaha. Ini kelewat jorok emang 🤣🤣

      Sipp makasih sarannya mbak!

      Hapus
  6. Kereen Kak udah biasa nyetir ke mana2 sejak muda. Ada tips kah biar berani nyetir dan enggak ketakutan saat akan berpapasan dengan kendaraan lain (yg lebih besar) di jalan?

    Aku baca pas bagian road trip jadi ikut deg2an dan menikmati perjalanannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang aku rasa sih lebih banyak latihan bikin lebih berani dan bisa ngira-ngira mobil kita semepet apa sama kendaraan dari arah sebrang.

      Kalau dulu pas masih awal-awal latihan, karena masih takut, refleks ngerem atau ngurangin kecepatan sambil lebih mepet ke piggir jalan. Tapi ini juga perlu hati-hati supaya nggak kebablasan malah jadi nabrak pinggir hehe

      Aku juga cenderung nggak ngeliat secara langsung wajah kendaraan yang lewat dan ngeliat jalan di depan atau pinggirku aja. Menurutku itu lumayan ngurangin rasa takut pas papasan

      Hapus
  7. Mbaaak kok bisa sih perjalanan jauh, simple banget bawaannya haha. Aku ke rumah sodara seharian aja bawaanku udah kayak pindahan. Ku akui dikau orangnya cocok jadi backpacker wkwk.
    Keren mama Razin ini nyetir lama kuat banget. Boyok kayak apa rasanya. Overall aku suka baca ceritanya ngalir gitu. Penasaran series cerita lainnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. samaaa banget mba wkwkw padahal gak nginep bawa diapers bisa 5 wkwkwkw

      Hapus
    2. Kayaknya kasusku ini memang kurang persiapan dan kelewat santai 🤣

      Punggung masih aman setelah dipijat air panas dari shower. Tangan yang lumayan pegel. Minta pijet suami juga dia lagi capek. Wkwk kangen mbah tukang pijet di desa 😢

      Hapus
  8. Keren, kak..
    Memang beda kalau sudah terbiasa dan jam terbangnya uda tinggi. Sehingga menghadapi berbagai kemungkinan saat berada di jalan juga lebih kreatif.

    Aku baru bisa nyetir setelah punya anak kedua dan itupun sangat terpaksa karena suka ditinggal suami dinas keluar kota. Alhamdulillah~
    Bisa nyetir banyak hikmahnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betull. Memang perlu banyak latihan aja.

      Alhamdulillah. Kadang karena kondisi mendesak, kita malah jadi punya kemampuan baru 😁

      Hapus
  9. Wah seru! Jadi penasaran sama kondisi jalanan di sana kayak apa. Beda enggak sama di Indonesia? Btw, aku juga duluan bisa nyetir dibanding suami. Tapi memang pada akhirnya dia lebih jago. Soalnya aku panikan, malah takut kenapa-kenapa sedangkan dia lebih tenang ngadepin situasi dijalan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kondisi jalan di sini lebih enak sih dibanding di Indonesia. Meskipun tekstur jalannya kadang gak semulus aspal Indonesia, tapi jarang banget ada lobang. Terus gak ada gang-gang kecil kayak di Indonesia heu. Di sini gedung-gedungnya kan di atas petak-petak tanah berbentuk kotak jadi jalurnya tertata rapi.

      Aku sendiri gak bisa nentuin arah mata angin kalau nyetir di Indonesia. Di sini, aku lumayan bisa lah karena alur jalannya lebih mudah ditebak.

      Hapus
  10. Trip di Indonesia aja kalau jalur darat berjam-jam lelah banget rasanya, apalagi bawa anak huft. Padahal aku nggak nyetir sih wkwk. Mb Ilma keren bgt nyetir di sana yang speed, aturan dll-nya beda sama Indo. Kalau masakan awet saat ini aku taunya kering kentang, kering tempe, sambel teri kacang (tapi semuanya butuh nasi), tapi bisa bikin dan ada bahannya gak di sana? Itu makanan andalan saat kuliah ngekost wkwk. Kala ada gastritis memang makannya harus jaga dan waktunya tepat :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya emang lebih capek perjalanan di Indonesia mbak. Soalnya kita nggak bisa nyetir dengan kecepatan konstan. Dikit-dikit ngerem, ada macet, harus nyalip. Kalau di sini sebenernya santai, kecepatan di set 90 km/jam udah tinggal duduk tenang jalan lurus terus (kalau lagi di interstate/jalan tol). Di dalam mobil tuh rasanya kayak di dalam kabin pesawat karena melaju terus dan konstan 😁

      Sip makasiih buat saran masakannya. Buat kering kentang ada semua bahannya. Kalau tempe, agak susah nyari yg mirip tempe Indonesia. Di sini tempenya campuran gitu, gak murni kedelai

      Hapus
  11. Buat mb Ilma, saya acung jempol deh 31 jam itu pecah rekor nyetir deh. Gimana rasanya mb? Ga kemeng? Terus istirahatnya berapa jam sekali itu? Anggap nyetir PP Jember Jakarta. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. 31 jam dalam 5 hari, Pak. Jadi sehari nyetir 5 atau 8 jam. Tiap 2 atau 3 jam pasti melipir soalnya anak-anak bosen duduk di mobil haha

      Capek sih. Sempet sakit kepala dan maag kambuh juga pas di jalan. Balik ke Chicago langsung sakit 😆

      Tapi seruu. Aku jadi pingin berkeliaran naik mobil di pulau jawa. Soalnya restoran halal kan ada di mana-mana. Mau melipir buat tidur juga gampang. Fix, pulang kampung aku mau berkelana 😆

      Hapus
  12. mbaaaaa masya Allah 31 jam???? keren banget siiih.... wkwkwkw jadi pengen bisa nyetir juga wkwkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwk 31 jam dalam 5 hari.

      Banyak latihan mbaak. Insya Allah bisaa

      Hapus
  13. Selalu seru baca pengalaman dan "petualangan" mba ilmu disana. Keren bgt asli, aku berkali2 latihan nyetir masih ciut bgt nyalinya buat nyetir di jakarta yg crowded macet dan begitulah. Lha ini diluar yg vibes nya pasti lebih aduhai bgt, saluut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga gak berani nyetir di Jakarta hahaha. Soalnya butuh skill nyalip level advanced. Nggak jago mepet-mepet dan takut kebawa emosi 😆

      Di sini nggak perlu skill nyalip. Jalan satu lajur juga meskipun pelan (ada batas kecepatannya) sebagian besar orang-orang sabar nyetir prlan dan ngantri

      Hapus
  14. Mbakkkk kalimat terakhir bikin nyes bin jleb.

    Ketika Sekalinya nikmat itu bisa kita ambil secara terbatas, baru terasa banget deh kenikmatannya..

    Masya Allah iya ya.. aku jadi banyak refleksi nih..maksih y mbak ilma.aku baca sampai habis lho... sini tak kaish bubur ayam surabaya.hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah mbaak ❤️ Mau banget bubur ayaam 🤤🤤

      Hapus
  15. Mbaaakk kok kuat bangettt 31 jam??? Gila sih ini... mantap. Apa nggak kesemutan itu kaki tangan?? Tapi kayaknya memang terbayar ya karena seru gitu roadtripnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha nggak terus menerus kok. Dibagi dalam 5 hari. Nggak sanggup nyetir lebih dari 8 jam sehari 😆

      Hapus
  16. Menarik banget mbak road trip nya... Jadi ngiri deh. Kalau aku sih nyetirnya gantian. Kalau aku gak kuat (baca: ngantuk), baru istri yang setir. Sejak anak pertama kuliah dan sudah jago nyetir, malah dia yang setir sekarang...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah asyik, supirnya udah banyak yang bisa gantian. Dulu pas aku blm nikah, kalau lagi jalan keluar kota nyetirnya bisa gantian sama Papa dan Adik 😁

      Hapus

Posting Komentar