Rupanya, bukan hanya aku yang larut dalam musik ini. Aku merasakan sentuhan bulu-bulu lembut melingkari kaki. Aku membuka mata sambil tersenyum kepada si telon yang sedang bermanja.
"Utututu... Mpus manisku...," ucapku sambil mengangkat kucing kesayanganku, Miru.
Aku beranjak dari kursi piano sambil menggendongnya. Kubuka pintu belakang rumahku. Kutatap langit malam yang diterangi sinar purnama. Sepertinya, di usiaku yang menginjak kepala empat, baru kali ini aku bisa menikmati pemandangan langit malam.
Pandanganku berpindah ke tanah, sepetak lahan tanpa atap. Tomat, cabe, dan mentimun yang berhasil kutanam tampak berkilauan terkena sinar rembulan. Selain bermain piano dan mengurus kucing, bercocok tanam adalah kegiatanku di waktu senggang.
Bugh!
Kudengar suara benda jatuh di dalam rumah. Segera aku menutup pintu belakang dan menyusuri ruangan-ruangan di dalam rumah, untuk mencari sumber suara jatuh. Kutengok kamarku, tak ada apa-apa. Kudatangi ruang tamu, semua aman. Kamar mandi juga kosong. Berarti tinggal satu ruangan yang belum dicek, dapur. Aku disambut pemandangan pemandangan toples kerupuk yang jatuh ke lantai ditambah kerupuknya berserakan.
"Ya ampuun... Kiree!" pekikku. Ternyata, kucing abuku sedang iseng naik ke lemari di dapur.
Beginilah kondisi rumah seluas 90 m persegi milikku, ramai sebab kegaduhan kedua kucingku. Rumah ini hanya dihuni kami bertiga. Di usia 41 tahun, aku masih senantiasa menjadi single lillah. Apa boleh buat, kisah hidupku penuh lika-liku. Meskipun begitu, aku bersyukur kini aku sudah meraih cita-cita yang kuinginkan, menjadi dokter bedah anak.
Kisahku bermula tahun 2012, saat usiaku baru 18 tahun. Duduk di kelas 3 akhir, aku harus membuat keputusan penting yang akan menentukan kehidupanku puluhan tahun mendatang: memilih tempat dan jurusan kuliah. Aku bersyukur mendapatkan tiket mendaftar ke kampus negeri hanya menggunakan nilai rapot. Yang tidak kusyukuri, perbedaan kepentingan antara aku dan orang tuaku.
Aku sangat ingin menjadi dokter. Sedangkan kedua orang tuaku terpaku kepada statistik siswa SMA-ku yang diterima di kampus negeri menggunakan jalur ini, 90% diterima di ITB. Orang tuaku menekanku untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan masuk ke kampus negeri tanpa tes. Mereka ingin aku masuk ITB.
Pada akhirnya, aku mengalah. Aku mengikuti saran mereka untuk mendaftar ke STEI ITB (fakultas yang menaungi Teknik Elektro dan Informatika). Tidak ada jurusan yang kuminati di sana. Aku memilihnya sekedar menyenangkan hati orang tua.
Saat pengumuman, ternyata aku lolos. Perasaanku campur aduk: sedih karena harus merelakan mimpi tapi juga senang karena bisa diterima di kampus negeri. Kenyataan segera menamparku, bagaimana caraku menjalani pembelajaran di kampus kalau aku tidak menyukai materinya?
Diam-diam aku membuat rencana. Sambil kuliah, aku menerima tawaran pekerja lepas sebagai blogger dan web admin. Sebulan aku kumpulkan uang sekitar Rp 1,2 juta. Dibanding belajar materi kuliah, aku memilih belajar materi ujian tulis masuk universitas negeri. Tujuanku satu: tahun depan aku harus masuk kedokteran.
Kuliahku saat ini masih di tahap awal. Materinya sebatas Fisika, Matematika, Kimia dan beberapa mata kuliah dasar. Aku pelajari semuanya secukupnya. Dibanding masuk kelas, aku lebih sering titip absen. Aku fokus mencari uang dan mempersiapkan ujian masuk. Yang penting, di mata orangtuaku, aku pergi ke kampus dan membayar SPP.
Tahun 2013 aku mantapkan mengikuti ujian masuk universitas negeri. Berbekal belajar mandiri selama setahun, aku cukup percaya diri untuk mendaftar ke fakultas kedokteran ternama di Indonesia seperti UI, UGM, dan UNPAD. Sayangnya, ternyata kemampuan dan keberuntunganku tidak sebaik itu. Aku dinyatakan gagal dari ujian masuk.
Bukan hanya gagal ujian, IPK-ku selama di ITB juga jeblok, tidak sampai 2,5. Aku nyaris patah semangat. Namun, melihat hasil tabungan dari pekerjaan lepas yang sudah mencapai Rp 14 juta memberikanku secercah harapan. Kali ini aku harus menyusun strategi yang lebih baik.
Semua uang dari bekerja paruh waktu aku gunakan untuk mendaftar bimbel (bimbingan belajar) khusus persiapan ujian masuk universitas negeri. Kegiatanku di tahun kedua kuliah semakin padat. Aku sudah melewati masa penjurusan dan masuk jurusan Teknik Elektro. Semua mata kuliah yang aku pelajari adalah hal-hal baru. Belum lagi aku harus mengulang sejumlah mata kuliah. Ditambah menjadi freeancer dan mengikuti les.
Tahun 2014 aku kembali mengikuti ujian masuk universitas negeri. Kali ini aku menargetkan masuk universitas negeri manapun asalkan jurusan kedokteran. Aku diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah!
Saat aku mengabarkan orangtua soal ini, mereka marah. Aku sudah membuang percuma waktu dua tahun di ITB juga semua uang yang dikeluarkan untuk membayar SPP-ku selama ini. Aku kesal karena mereka tidak bisa menerima mimpiku. Aku memutuskan untuk kabur dari rumah orangtuaku di Bandung dan terbang ke Palu hanya bermodalkan sisa uang kerja paruh waktu selama setahun terakhir.
Sampai di Palu, aku langsung mencari kos-kosan murah. Selama beberapa hari mencari kos-kosan, aku terpaksa tidur di fasilitas apapun yang buka 24 jam: masjid, rumah sakit, hingga minimarket. Asalkan ada tempat duduk, aku bisa tidur sebentar tanpa mengeluarkan biaya menginap. Akhirnya, aku dapat kos-kosan seharga Rp 500 ribu berukuran 3x4 m persegi dan kamar mandi luar.
Aku memikirkan berbagai cara untuk bertahan hidup: makan secukupnya dan tetap menjalani kerja paruh waktu sampai aku betul-betul tidak sanggup. Namun, SPP yang begitu besar benar-benar mencekikku. Aku membayar sebagiannya dengan uang tabunganku sambil memohon kepada dekan supaya aku mendapat keringanan dan penangguhan. Meskipun terjepit kondisi finansial, aku bertekad akan belajar dengan lebih baik di sini.
Betul saja, tahun pertama IPK-ku di atas 3,5. Aku jadi bisa mendaftar beasiswa prestasi. Aku dinyatakan lolos beasiswa prestasi tetapi hanya berupa beasiswa parsial. Aku masih harus menanggung sebagian SPP yang belum terbayar.
Aku terpaksa berhenti dari pekerjaan freelance online karena terlalu membebaniku. Akhirnya, aku mendaftar ke sebuah lembaga kursus sebagai tenaga pengajar lepas. Syukurlah, aku diterima dan gajinya cukup untuk bayar uang kosan dan makan.
Dua tahun aku berjuang untuk kuliah dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Orangtuaku sebenarnya mencoba menghubungiku, tetapi sering aku abaikan. Aku malu karena kabur dari rumah dan ingin membuktikan kepada mereka bahwa aku bisa hidup sendirian. Berhubung setelah dua tahun IPK-ku naik ke 3,7, aku mulai membuka ruang komunikasi dengan mereka.
Kedua orangtuaku memutuskan untuk mengunjungiku di Palu. Mereka terkejut melihat kodisiku yang tinggal di kosan sempit. Belum lagi badanku tampak kurus tak terawat. Namun, mereka melihat kegigihan dan prestasiku. Mereka tidak lagi marah, bahkan merasa tidak tega melihat situasiku. Mereka menawarkan akan memindahkanku ke kosan yang lebih baik dan membayar sisa SPP-ku yang masih menunggak.
Kondisi finansial yang membaik membuatku lebih fokus untuk kuliah dan bersosialisasi dengan teman seangkatan. Sebelumnya, aku sibuk bekerja dan kuliah sehingga hampir tidak punya waktu untuk mengikuti kegiatan bersama teman. Meskipun akhirnya aku punya beberapa teman yang akrab, aku tidak berani berharap bisa mendapatkan jodoh di kampus. Pasalnya, usiaku 2 tahun lebih tua dibanding teman-teman seangkatan. Aku tidak yakin apakah ada teman laki-laki yang mau menikah dengan perempuan lebih tua. Itu sebabnya aku menutup diri dari urusan percintaan.
Tahun 2018 akhirnya aku wisuda dan menyandang Sarjana Kedokteran dengan predikat cumalude. Aku bangga bisa terus berjuang meraih mimpiku meskipun aku harus melalui jalan berliku. Masa sekolahku masih panjang. Aku menjalani tahap koas hingga 2020, lalu internship hingga 2021. Tanpa jeda, aku langsung mengambil spesialis bedah umum dan selesai tahun 2027. Aku lanjutkan ke subspesialis bedah anak yang baru aku selesaikan tahun 2031.
17 tahun sekolah kedokteran tanpa jeda dengan segala dinamika belajar dan praktik di rumah sakit sudah menempaku menjadi pribadi yang tangguh. Empat tahun sudah aku bekerja sebagai dokter spesialis bedah anak di RS Undata Palu. Kini, aku sudah mulai menikmati kerja kerasku dengan membeli sebuah rumah mungil yang aku huni dengan kedua kucing kesayanganku.
Triririt!
Suara ponsel membuyarkan lamunanku. Panggilan dari rumah sakit.
“Selamat malam, Dok. Kami punya pasien anak laki-laki, usia delapan tahun. Nyeri perut kanan bawah, hasil USG menunjukkan appendicitis akut, kemungkinan sudah perforasi. Kami akan segera menyiapkan ruang operasi.” jelas seorang dokter residen di IGD.
“Baik, saya ke sana sekarang,” jawabku singkat.
Segera aku menuju gantungan di sebelah pintu depan. Tanganku menarik kerudung bergo berwarna hijau dan kunci mobil sedangkan kakiku secara otomatis masuk ke slip on sneakers.
Sepuluh menit kemudian aku sudah sampai di ruang operasi. Bau antiseptik dan suara monitor jantung berpadu menjadi harmoni. Aku melangkah menuju ke ruang persiapan sambil mengangguk pelan, menyapa tim bedah di dalam ruangan.
“Kondisi pasien?” tanyaku singkat
“Sedang dalam tahap pre-anestesi, Dok. Tekanan darah stabil.”
Aku membuka rekam medis: anak laki-laki, delapan tahun, demam, muntah, nyeri tekan kuadran kanan bawah. Semua tanda klinis mengarah kuat ke appendicitis perforata. Aku menandatangani form persetujuan operasi, lalu menuju ruang cuci tangan.
Air dingin mengalir di sela jari. Selesai menggosok tangan dengan sabun selama dua menit, lalu aku mengenakan gaun steril dan sarung tangan operasi. Dengan langkah mantap, aku berjalan mendekati pasien yang telah dipersiapkan untuk dibedah.
“Scalpel*,” pintaku. (*pisau bedah)
Satu setengah jam telah berlalu di ruang operasi. Aku melepaskan pakaian bedah sedangkan pasien sudah dipindahkan ke ruang pemulihan. Anak itu mulai sadar dari obat bius. Aku menulis laporan singkat lalu menuju ruang tunggu untuk menemui keluarganya.
Di lorong itu, sepasang suami-istri tampak cemas. Saat aku mendekati mereka, sang suami menoleh kepadaku. Wajahnya, seperti familiar.
Memoriku saat masih berkuliah di ITB kembali terputar di otak. Laki-laki ini....
"Maldani? Muhamad Maldani Muslim?" tanyaku menerka.
"Ya, dokter... Ilma?" Suaranya tercekat sebentar sambil memandang wajahku lekat-lekat.
"Iya. Ingat aku yang dulu sekelompok tugas Fisika semester 1 di ITB, kan?" tanyaku.
"Ya ampun! Kamu jadi dokter? Kamu yang operasi anakku?" cecarnya.
"Ah, iya. Kondisi anakmu sudah stabil. Kami sudah mengambil usus buntunya yang terinfeksi. Dia sedang berada di ruang pemulihan. Dia akan baik-baik saja. Kamu tidak perlu khawatir."
"Makasih, Ilma...." Suaranya memelan, matanya berkaca-kaca, tetapi ada kelegaan di wajahnya.
Hatiku menghangat melihat temanku dan istrinya saling merangkul. Tangis bahagia pecah di antara mereka. Hal seperti inilah yang membuatku sangat ingin menjadi dokter sejak dulu: menjadi jalan bagi orang lain untuk berbahagia setelah bersedih.
Jam dua pagi aku mengendarai mobilku meninggalkan rumah sakit. Baru setengah jalan menuju rumah, aku melihat dua truk pemadam kebakaran melaju dengan cepat melintasi mobilku. Kedua truk itu menuju ke arah kompleks perumahan tempatku tinggal.
Buru-buru aku melaju mobilku. Aku mulai melihat kepulan asap hitam membumbung di atas atap-atap perumahan. Baru saja aku sampai di belokan terakhir menuju ke rumah, jalan sudah tertutup. Orang-orang berkerumun di jalan.
Aku parkir mobilku di pinggir jalan. Segera aku turun dan berlari ke arah rumah. Rumah yang tepat bersisian dengan rumahku sudah terbakar hebat. Api sedikit demi sedikit mulai menjalar ke rumahku. Asap mulai terlihat keluar dari pintunya.
Di depan rumahku sudah ada dua petugas pemadam kebakaran yang menyemprotkan air.
"Pak, tolong Pak. Di dalam rumah ini ada dua kucing saya. Tolong keluarin mereka Pak."
Aku memohon-mohon kepada petugas yang menghalauku untuk tidak masuk ke rumah.
Saat api di rumah sebelah lebih terkendali, seorang petugas masuk ke dalam rumahku dan membawa kedua kucingku keluar. Hatiku hancur seketika melihat kedua kucingku sudah terbaring lemas tak berdaya. Mereka kehabisan napas.
Hari itu aku seperti kehilangan segalanya. Mimpiku memiliki rumah kecil berisi piano dan ditemani dua kucing ludes sudah. Satu-satunya mimpi yang masih kugenggam adalah menjadi seorang dokter. Hari-hari kemudian aku habiskan di rumah sakit untuk mengobati duka yang aku alami.
Beberapa minggu berlalu, aku mendapatkan informasi menjadi relawan medis di Gaza, Palestina. Panggilan ini terasa nyata. Tidak ada lagi yang menahanku di sini. Aku tidak punya suami maupun anak. Kedua kucingku juga sudah pergi meninggalkanku.
Hari itu, aku mantap mengisi formulir pendaftaran.
Nama: Ilma Hidayati Purnomo.
Profesi: Dokter Spesialis Bedah Anak.
Alasan bergabung: "Saya ingin menjadi jalan bagi warga Gaza untuk berbahagia."
Nama: Ilma Hidayati Purnomo.
Profesi: Dokter Spesialis Bedah Anak.
Alasan bergabung: "Saya ingin menjadi jalan bagi warga Gaza untuk berbahagia."



Posting Komentar
Posting Komentar