Masih hangat dalam ingatan kita atas aksi unjuk rasa yang terjadi di depan gedung pemerintahan negeri ini. Ribuan orang datang berkumpul, menyuarakan ketidakpuasan mereka atas kebijakan pemerintah, dan berharap suaranya didengar oleh wakil rakyat. Aksi ini merupakan bentuk nyata perjuangan rakyat dalam menuntut haknya.
Sebagai warga negara Indonesia yang saat ini tinggal di luar negeri, hati saya bergetar menyaksikan aksi ini. Seluruh masyarakat Indonesia saling mendukung aksi ini agar saran rakyat didengar oleh pemerintah. Rakyat Indonesia beramai-ramai update status di media sosial. Lebih mencengangkan lagi, bahkan sejumlah bantuan datang dari masyarakat beberapa negara di Asia Tenggara. Sungguh suatu cerita perjuangan yang mengharukan.
Di tingkat dunia, kita juga akan dihadapkan pada perjuangan masyarakat adat dalam menuntut haknya. Bulan November nanti akan digelar konferensi iklim yang menjadi ajang diskusi dan negosiasi terkait perubahan iklim. Ketika berbicara perubahan iklim, kita akan berbicara soal alam yang menjadi tempat hidup masyarakat adat, tetapi juga sumber penghasil uang bagi perusahaan.
Ibaratnya, konferensi iklim ini akan menjadi wadah para pemangku kebijakan dan orang-orang yang berkepentingan untuk menentukan nasib kelangsungan hidup masyarakat adat. Bayangkan, jika hasil dari konferensi ini malah membuat masyarakat adat tercerabut dari hak dasar kehidupannya. Inilah saatnya kita beraksi untuk membantu masyarakat adat memperjuangkan haknya karena masyarakat adat adalah saudara kita, sesama bangsa Indonesia.
Aksi seperti apa yang bisa kita lakukan untuk membantu perjuangan masyarakat adat? Apa saja tantangan yang mereka alami? Bagaimana konferensi iklim internasional yang akan diselenggarakan bulan November mendatang bisa membantu masyarakat adat menghadapi tantangan tersebut? Temui jawabannya di tulisan ini!
Kehidupan Masyarakat Adat Terancam
Masyarakat adat memiliki kehidupan yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat yang tinggal di luar komunitas adat, mulai dari sistem bermasyarakatnya hingga gaya hidupnya. Sebagai contoh, hutan tempat mereka tinggal bukan hanya sebagai rumah, tetapi separuh jiwa mereka. Hal ini disebabkan koneksi yang begitu kuat antara penduduk masyarakat adat dengan hutan itu.
Penjelasannya begini: masyarakat yang tinggal di luar komunitas adat menganggap rumah hanya sebagai tempat berlindung dari cuaca dan tempat aman. Pindah rumah juga merupakan hal yang wajar dan biasa. Mereka cukup mencari supermarket terdekat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan mempelajari kebiasaan orang-orang di sekitar mereka untuk bersosialisasi. Hal ini tidak berlaku bagi masyarakat adat.
Masyarakat adat menganggap hutan tempat mereka tinggal seperti "keluarga" mereka sendiri. Mereka mengambil hasil alam dari hutan secara bijak dan hanya sesuai kebutuhan. Mereka juga menjaga hutan selayaknya menjaga keluarga sendiri. Gaya hidup seperti ini sudah dilakukan ribuan tahun, sejak nenek moyang mereka. Maka, mengambil hutan tempat mereka tinggal sama saja dengan "menculik" keluarga mereka. Lalu, memindahkan masyarakat adat untuk tinggal di tempat lain sama saja dengan menculik seorang bayi dari kedua orang tuanya, lalu bayi itu dibuang di jalanan. Jahat, bukan?
Keterangan gambar: 1) Kiri atas: Pelapor khusus PBB mengunjungi Papua menyoroti pelanggaran hak masyarakat adat; 2) Kanan atas: Papan batas wilayah adat; 3) Kiri bawah: Aksi solidaritas mendesak pengesahan RUU masyarakat adat; 4) Tokoh masyarakat adat dari Sumatera Utara yang ditangkap dan ditahan. Sumber: https://aman.or.idMasalahnya, inilah ancaman yang saat ini terjadi pada masyarakat adat di Indonesia. Kak Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menuturkan bahwa masyarakat adat sudah menjadi korban dari perusakan dan perampasan wilayah adat (tempat masyarakat adat tinggal) sejak lama. Hutan-hutan yang dijaga masyarakat adat ditebang untuk logging. Hutan-hutan dirusak untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Gunung dirusak untuk pertambangan.
Hutan dan gunung yang dirusak inilah salah satu alasan terjadinya krisis iklim. Dampak krisis iklim sudah kita semua rasakan saat ini. Meningkatnya suhu global, meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem (seperti gelombang panas, kekeringan, dan badai), naiknya permukaan air laut, pengasaman laut, mencairnya es dan gletser, dampak terhadap keanekaragaman hayati dan kepunahan spesies, terganggunya pasokan makanan dan air, serta dampak negatif terhadap kesehatan. Inilah sebabnya ketika kita membahas krisis iklim, kita juga harus membahas nasib masyarakat adat. Pasalnya, PBB menyatakan bahwa hutan dan ekosistem terbaik saat ini dijaga oleh masyarakat adat. Berarti masyarakat adat punya peran penting dalam mengatasi krisis iklim.
Meskipun masyarakat adat memiliki peran penting, nyatanya masyarakat adat di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, terbitnya izin bagi perusahaan untuk "memanfaatkan" hutan yang terletak di wilayah adat. Tentu saja, cara perusahaan memanfaatkan hutan tidak mungkin tanpa perusakan hutan.
Kedua, pemerintah tidak mendukung masyarakat adat dalam mempertahankan tempat mereka tinggal. Alih-alih membiarkan hutan di wilayah adat apa adanya, pemerintah justru membuat undang-undang yang memperbolehkan penggunaan hutan itu untuk komersil. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/2012 menegaskan bahwa Hutan Adat bukanlah bagian dari Hutan Negara, sehingga secara implisit mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat atas Hutan Adat tersebut sebagai hak milik mereka. Akan tetapi, di dalam UU Cipta Kerja, justru ditemukan banyak peraturan yang memudahkan perusahaan untuk mengeksploitasi hutan adat, salah satunya UU Cipta Kerja hanya memberikan sanksi administratif (tidak ada sanksi pidana) kepada dunia usaha yang melakukan usaha tanpa ijin usaha (Pasal 82A).
Terakhir, masyarakat adat menghadapi kriminalisasi ketika mereka mempertahankan wilayah adatnya. Selama 2014–2024 sebanyak 925 masyarakat adat alami kriminalisasi, 60 mengalami kekerasan fisik, dan satu orang kehilangan nyawa. Contohnya, seorang tokoh masyarakat adat, Sorbatua Siallagan, yang ditangkap oleh Polda Sumatra Utara pada Maret 2024 lalu karena dituduh menggunakan lahan garapan PT Toba Pulp Lestari, yang tumpang tindih dengan hutan adat masyarakat. Ia diancam dengan hukuman penjara selama dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar yang jika tidak dibayarkan maka diganti hukuman kurungan enam bulan.
Kondisi Masyarakat Adat di Luar Negeri
Tidak hanya masyarakat adat di Indonesia saja yang menghadapi sejumlah tantangan, masyarakat adat di luar negeri juga mengalami hal serupa. Seperti yang disampaikan oleh Lucía Ixchíu dari masyarakat adat Maya K'iche di Guatemala, masyarakat adat di wilayahnya juga mengalami kekerasan, disudutkan oleh pemerintah, bahkan genosida. Tahun 2012 lalu, tentara di negara itu melakukan pembantaian komunitas masyarakat adatnya. Saat itu, Lucía Ixchíu sedang berada di luar komunitas adatnya, sehingga ia selamat dari pembantaian. Kini, ia ingin menyebarkan informasi tentang masyarakat adatnya ke dunia.
Mencari Solusi di Konferensi Iklim
COP30 adalah Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa tahunan ke-30, yang akan diselenggarakan di Belém, Brasil, pada 10–21 November 2025. COP adalah singkatan dari Konferensi Para Pihak, yang mencakup semua negara penandatangan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Konferensi ini akan mempertemukan para kepala negara, delegasi, pemimpin bisnis, dan aktivis iklim untuk merundingkan respons global terhadap perubahan iklim. Karena Belém terletak di gerbang hutan hujan Amazon, pertemuan ini bertujuan untuk memberikan fokus khusus pada hutan, masyarakat adat, dan keanekaragaman hayati.Pada COP30, Rukka Sombolinggi menyatakan akan membawa lima tuntutan untuk membantu masyarakat adat menghadapi tantangan-tantangan yang disebutkan di atas. Tuntutan tersebut adalah:
1) Memastikan terlindunginya hak kolektif masyarakat adat untuk mengurus, mengatur, dan melindungi alam dan diri sendiri.
2) Menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang berusaha mempertahankan wilayah adatnya.
3) Menghormati FPIC (Free, Prior, and Informed Consent). Masyarakat adat harus diberi tahu sebelumnya jika ada pihak yang akan menggunakan wilayah adat untuk suatu keperluan. Penggunaan wilayah adat juga harus atas seizin masyarakat adat. Masyarakat adat sangat mendukung pembangunan yang ingin dilakukan oleh pemerintah, tetapi pembangunan itu tidak boleh berdiri di atas darah dan air mata masyarakat adat.
4) Menghargai ilmu pengetahuan masyarakat adat yang diturunkan sejak nenek moyang. Akan lebih baik lagi jika semua pihak mendukung aplikasi ilmu pengetahuan masyarakat adat dalam menjaga hutan. Pasalnya, telah terbukti justru cara masyarakat adat menjaga hutan selama ini lah berguna untuk menjaga eksositem terbaik.
5) Memberikan dukungan langsung dalam bentuk direct finance.
Yuk, Kita Buat Aksi Dukungan!
Memperjuangkan hak masyarakat adat di konferensi iklim tingkat dunia sama pentingnya dengan perjuangan rakyat Indonesia dalam menuntut haknya ke pemerintah. Maka dari itu, kita juga perlu bergandengan tangan, bersama-sama melakukan aksi nyata, seperti berbagi di media sosial.
Menurut Laila Zaid, seorang content creator pegiat isu lingkungan dari Brazil, kita semua sebagai pengguna aktif media sosial bisa membagikan perjuangan masyarakat adat menuntut haknya di COP30 dengan mengunggahnya di media sosial. Kita cukup menceritakan dengan gaya storytelling masing-masing, dengan gaya bahasa masing-masing. Tidak peduli berapa jumlah followers kita, membagikan isu ini di media sosial sangatlah penting supaya banyak orang aware dengan isu ini. Kita juga bisa melakukan kolaborasi dengan sesama pengguna media sosial, dengan membuat template story di Instagram, misalnya.
Topik ini bukan hal yang jauh dan sulit untuk diperbincangkan. Pasalnya, kita semua sudah mengalami dampak negatif dari krisis iklim: suhu udara yang semakin panas, badai, dan semakin sering terjangkit penyakit. Kita jugalah kunci dari permasalahan krisis iklim ini seperti tagline yang diserukan oleh Kak Rukka Sombolinggi, "The answer is us." Kita punya tanggung jawab menjaga bumi ini mulai dari langkah sederhana, seperti mengajak teman dan keluarga untuk mengurangi sampah dan penggunaan BBM. Juga dengan membantu pahlawan penjaga hutan kita semua, yaitu masyarakat adat.
Bukankah hal ini serupa dengan aksi kita kemarin saat membagikan tuntutan rakyat kepada pemerintah? Yuk, kita gaungkan lagi perjuangan saudara kita, masyarakat adat, untuk mendapatkan hak mereka!
Sumber:
Webinar InDigital yang menghadirkan Laila Zaid dari Brazil, Rukka Sombolinggi dari Toraja, dan Lucía Ixchíu dari Guatemala, 2 September 2025
https://www.un.org/development/desa/indigenouspeoples/climate-change.html
https://www.un.org/development/desa/indigenouspeoples/climate-change.html
https://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2020/10/SIARAN-PERS-Sikap-AMAN-terhadap-UU-Omnibuslaw.pdf
https://mongabay.co.id/2025/08/09/ancaman-bertubi-hantui-masyarakat-adat-di-tengah-perlindungan-minim/
https://www.bbc.com/indonesia/articles/cv2yzryd0npo




Posting Komentar
Posting Komentar