Sekolah negeri di sini tidak menyediakan pendidikan agama apapun. Oleh karena itu, aku terpikir untuk mendaftarkan anak-anak ke Sunday School sejak tahun lalu. Sunday School adalah program kelas agama Islam yang biasanya diadakan di masjid setiap minggunya. Sejak tahun lalu, aku sudah mulai riset dan mendata masjid terdekat mana saja yang menyediakan program ini.
Data di atas bukan yang terbaru.
Datang ke Open House
Rencana mendaftarkan anak ke TPA memang aku tunda dulu tahun lalu. Aku menunggu semua urusan daftar visa beres, baru aku ajukan saran ini ke suami. Tanggal 3 September 2025 lalu, aku melihat pengumuman open house Sunday School di Masjid MAPS (Muslim Association of Puget Sound).
Sabtu, 7 September 2025 aku dan kedua anak berangkat ke MAPS. Jaraknya lumayan jauh dari apartemen (sekitar 19 km, waktu tempuhnya 25 menit). Waktu aku sampai di sana, sudah ada banyak anak berkeliaran di dalam area masjid. Masuk dari pintu utama, aku disambut beberapa meja dan tempelan kertas-kertas daftar siswa perangkatan. Kelasnya dibagi sesuai angkatan di sekolah negeri berdasarkan batas usia anaknya, seperti: Pre-K (4 tahun), Kindergarten (5 tahun), 1st grade (6 tahun), 2nd grade (7 tahun), dan seterusnya.
Aku lalu diarahkan ke ruangan kelas untuk Pre-K. Di sana ada meja-meja yang di-set up untuk belajar. Ada banyak alat mewarnai, kertas warna-warni, stiker, dan beberapa selebaran informasi untuk orang tua. Aku juga berkesempatan ketemu dengan gurunya. Dari cara berbicaranya, guru ini lebih mirip guru Pre-K biasa, yang mengarahkan anak-anak untuk bermain sambil belajar. Kegiatannya juga tidak jauh-jauh dari menggambar, mewarnai, story time, dan kegiatan "main-main" lainnya.
Nah, waktu aku ke sana, pendaftaran program ini memang sudah berlangsung pada link yang tertera di flyer di atas. Buat jadwal pagi, ternyata biaya pendidikannya $900/tahun + biaya pendaftaran $60. Belum lagi, setelah aku melihat kalender akademik, ternyata setahun hanya 23 pertemuan + 1 hari carnival! (Di Google Spreadsheet di awal tulisan ini, aku mengasumsikan 40 pertemuan sesuai perkiraan hari pertama dan hari terakhir. Ternyata liburnya bejibun)
Tanggal yang aku tandai dengan kotak itulah waktu belajarnya.
Aku bolak-balik telpon suami buat minta pendapatnya. Aku juga bolak-balik tanya bagian pendaftarannya:
- Aku baca di website ada diskon 50% buat orang tua yang jadi volunteer full time. Sayangnya, posisi ini udah gak buka. Staff-nya bilang ada keringanan (aku gak yakin bisa dapat keringanan kalau melihat profil pendapatan keluarga kami wkwk)
- Aku tanya juga apakah biaya akademik ini bisa dibayar bulanan. Secara, anak keduaku BELUM PERNAH ikut program kelas/sekolah apapun seumur hidupnya. Kan kalau langsung bayar $900 jebret, jadi harus komitmen, padahal gak tau juga anaknya bakal betah apa enggak. Ternyata, stafnya gak begitu tahu. Katanya sih, kalau bayar langsung tapi cuma ikut 1 semester, bisa di-refund sisanya (?)
- Aku tanya, kapan pendaftarannya tutup. Jawabannya, kalau siswanya udah penuh.
Setelah aku pikir-pikir lagi, kok jadi banyak nggak sregnya. Tempatnya jauh dari apartemen. Lalu, sebetulnya kami prefer weekend jadi hari keluarga. Terus gak jelas juga ini bisa dibayar bulanan apa enggak. Dari penuturan gurunya juga aku bisa menyimpulkan bahwa program ini akan bersifat main-main karena tujuan program ini adalah supaya anak "senang" datang ke kelas. Di lain pihak, tujuanku memasukkan anak ke program Sunday School biar mereka terpapar pendidikan agama yang belum diajarkan di rumah, misalnya tahsin (membaguskan bacaan) Al-Quran atau hapalan atau fiqih.
Soal biaya, kalau dihitung-hitung, dengan durasi 3 jam 45 menit per pertemuan plus dikasih makan siang, berarti perjamnya seharga $10. Les seharga $10 perjam itu udah kayak gratis, kayak modal donasi aja. Kalau aku lihat summer school, misalnya, harga perhari itu bisa $100. Les bahasa, math, musik, atau bela diri minimal $30 perjam. Ajaibnya, les-les mahal ini di sekitar sini bisa sampai waiting list. Makannya, program Sunday School di sini aku yakin juga bakalan cepet tutup pendaftarannya.
Mencari Pilihan Lain
Suami bilang, sebaiknya aku cari pilihan lain. Dia menyarankan aku cari informasi program di Masjid ICOE (Islamic Center of Eastside) yang dilaksanakan weekday sore. Hari seninnya, aku kirim email ke bagian akademiknya yang aku dapat dari situsnya. Aku mau pastikan kalau anakku yang baru mau lima tahun bisa ikut program Maktab ini.
Berhari-hari kutunggu balasannya, tapi tak datang-datang. Lalu aku ingat dulu aku pernah ngirim email untuk nanyain program pre-school. Waktu aku perhatikan balasannya, ternyata ada nomor telpon juga di sana. Kucoba saja kirim SMS. Ajaibnya, pesanku dibalas hanya beberapa menit berselang dengan SMS-ku.
Balasan pertama, agak mengecewakan. Bagian administrasinya, Mujir, bilang kalau program Maktab ini harusnya buat anak usia minimal 6 tahun. Namun, dia bisa tanya ke Syeikh yang ngajar apakah mau menerima anakku sebagai siswa. Anakku harus datang ke kelas free trial.
Program Maktab ini dilaksanakan hari Senin sampai Kamis jam 5-7 sore. Ada satu lagi pilihan program serupa, yaitu Sunday Quran yang dilaksanakan setiap Minggu jam 11:30 selama 3 jam.
Rencananya aku mau bawa anak keduaku ke kelas Minggu dan Senin untuk mencoba kedua program. Ternyata, hari Minggu aku belum bisa pergi. Jadi, aku bawa anakku ke masjid hari Senin, 15 September 2025. Anak pertamaku baru saja sampai di apartemen, sepulang sekolah. Dia gak mau ikut ke masjid.
Sesampainya di masjid, aku tidak tahu harus ke mana. Aku coba masuk ke bagian sisi perempuan. Di sana ada sejumlah anak berbagai usia, mulai dari 6 tahunan sampai lumayan besar. Mereka mengambil bangku kecil berwarna warni lalu duduk melingkar di dalam masjid. Ada beberapa perempuan dewasa yang kukira adalah gurunya. Kucoba saja tanya apakah ini program maktab. Ternyata benar. Untuk laki-laki, di sisi masjid laki-laki.
Heu, aku merasa agak sungkan juga ya. Yang diantar anak cowok padahal aku cewek. Terpaksa aku menuju sisi masjid laki-laki. Beruntung aku cuma perlu naik tangga lalu menunggu di pintu masuknya. Pas sekali ada gurunya. Seorang laki-laki African-American. Aku jelaskan situasi anakku dan guru itu bilang dia sudah dengar dari Mujir. Anakku disuruh masuk ke dalam masjid.
Ini pertama kalinya anakku lepas dari pandanganku dalam waktu lama. Jujur saja, aku khawatir. Gimana kalau anakku lari-lari di masjid ketika anak lain lagi belajar? Jadi, beberapa kali aku intip ke dalam masjid. Beberapa kali aku lihat anakku berpindah posisi wkwkwk.
Siswanya nggak sampai 20 orang dari berbagai usia dan berbagai ras. Mulai dari 6 tahunan sampai mungkin 14 tahunan. Ada yang berwajah India, Arab, bule putih, juga African-American. Sebagian besar siswa menggunakan pakaian gamis laki-laki. Sepertinya, hanya anakku yang pakai kaos dan celana biasa.
![]() |
| Ilustrasi siswa di TPA. Sumber: canva |
Sekitar jam 7 kurang, aku coba buka pintu masjid lagi. Kebetulan ada siswa lain yang lebih besar keluar dari pintu. Dia tanya apakah aku mau dipanggilkan Syeikh. Lalu gurunya datang. Dia bilang hari itu anakku belum bisa belajar karena belum ada bukunya jadi anakku cuma menyimak (sambil jalan-jalan di dalam masjid wkwkwk). Aku diminta datang lagi esok harinya.
Aku tanya apakah setiap hari hanya belajar Al-Quran? Soalnya aku sempat duduk di bagian perempuan dan mengamati siswi yang ikut Maktab. Mereka duduk melingkar sambil menghapal surat lalu setoran ke gurunya. Syekh-nya bilang, biasanya Senin dan Kamis belajar Al-Quran, Selasa Islamic Studies, sedangkan Rabu hapalan.
Sejujurnya, aku gak yakin bisa bawa anakku ke masjid setiap hari dari Senin sampai Kamis. Senin sore, aku ada kelas online terjemah Al-Quran. Selasa sore, aku ada kelas online tahsin. Dua-duanya aku udah bayar dan sayang banget kalau aku skip.
Pulang dari masjid, aku ngobrol sama suami. Suami bilang, sekalian bawa aja si kakak, terus nggak perlu datang tiap hari. Aku mikir, gimana kalau dateng Selasa-Kamis aja biar dapat materi Islamic Studies dan Al-Quran? Besoknya aku mau pastikan.
Mantap Mengikuti Program Maktab
Hari Selasanya, aku bawa kedua anakku. Sejujurnya, aku merasa lebih tenang meninggalkan si kecil kalau ada kakaknya. Jadi, ada yang jagain. Kebetulan pas mau masuk pintu masjid, ada laki-laki dewasa lain selain Syekh yang aku temui kemarin. Aku coba konfirmasi lagi soal jadwal belajarnya.
Dia bilang, jadwalnya itu fleksibel. Biasanya guru (dia panggilnya Imam) yang ngajar Islamic Studies datengnya hari Rabu. Sisanya bisa aja baca Al-Quran selama sejam, lalu hapalan atau bahas hadist. Oke, aku mantap membawa anakku ke program Maktab hari Rabu dan Kamis saja kalau gitu, biar nggak bentrok jadwal kelas online-ku.
Aku SMS lagi Mujir, staf akademiknya. Biaya perbulan $150, untuk tambahan saudaranya $120. Aku bilang, anak-anakku cuma dateng 2x seminggu. Alhamdulillah, dikasih potongan jadi $80/anak setiap bulan. Kalau sebulan ada 4 minggu, 2 kali pertemuan/minggu, setiap pertemuan 2 jam, berarti harga perjamnya cuma $5. Kurang terjangkau apa lagi coba? Pembayarannya juga dilakukan perbulan, nggak pertahun seperti di MAPS.
Hari itu aku jemput anak-anak jam 7 sore. Si adik baru dicek belajar baca Al-Quran sampai materi apa. Karena di rumah baru sampai Iqro 5 awal, dia mulai belajar huruf bertasydid. Si adik dikasih buku tajwid gratis. Sedangkan si kakak sudah mulai baca Al-Quran dan menghapal surat pendek.
Setiap Rabu dan Kamis aku antar anak-anak ke masjid. Syukurlah, masjid ini hanya berjarak 6,4 km dan cukup ditempuh 15 menitan. Semua berjalan lancar hingga Rabu, 1 Oktober 2025 anak keduaku mulai berulah.
Hari itu dingin, suhunya di bawah 15 derajat celcius. Dia gak pakai jaket waktu keluar rumah dan aku lagi sibuk ngambil makanan yang mau aku bawa ke rumah teman. Pas mau masuk ke masjid, aku mau bilang ke anak pertamaku, tolong bantuin adiknya kalau mau pipis. Eh, kedua anakku ngeloyor masuk sebelum aku ngomong.
Betul saja, pulangnya aku temukan celana anakku basah. Dia ngompol. Di karpet masjid (tepok jidat). Hari itu pas sekali Imam (guru tua yang ngajar Islamic Studies) datang ke masjid. Ternyata beliau guru yang sikapnya tegas dan suaranya menggelegar, bisa bikin takut.
Aku ngomong sama guru yang muda tentang ulah anakku lalu aku juga ngomong sama Imam-nya. Beliau bilang, mungkin saya ngomongnya terlalu keras jadi bikin takut. Beliau bilang nanti karpetnya akan dicuci. Ah elah, malu banget aku.
Pertimbangan Mengikuti Program Maktab
Program ini tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Kalau mau dibandingkan dengan MAPS, program ini lebih mirip TPA di Indonesia, sedangkan di MAPS lebih mirip format sekolah di Amerika. Aku masih inget, waktu SD pernah ikut TPA sore di dekat rumah. Kurang lebih kayak gini: setiap siswa bergiliran baca Iqro/Al-Quran dan disimak oleh ustadz. Kadang ada ustadz yang baik, kadang juga ada yang galak.
Yah, seengganya biar anak-anak tahu kalau orang di luar sana gak semuanya soft spoken, berbeda dengan guru di public school. Anak-anak bilang bahkan Imam nya lebih nyeremin daripada aku atau suamiku (padahal aku juga sering marahin mereka wkwkwk). Mereka juga perlu tahu soal ketegasan. Lagian, kerena banget kan diajarin sama Syekh? Dibanding di MAPS yang sepertinya diajar oleh guru sekolah Islam biasa. Kedalaman ilmunya kan beda.
Meskipun belajarnya gak terjadwal dan terstruktur seperti di MAPS, tata tertib di sini juga terbilang cukup mengikat. Terlihat dengan pemisahan kelas laki-laki dan perempuan, meskipun semua usia disatukan di satu kelas. Menurutku ini justru lebih efektif untuk mengajar anak. Bahwa anak-anak harus tahu kodratnya, cowok ya jadi cowok dan bisa menjaga diri dari cewek.
Semalam, aku baru saja dapat email dari Mujir. Ternyata ada kewajiban dress code menggunakan gamis laki-laki dan sejumlah informasi tata tertib lainnya. Bagus kok. Aku malah seneng kalau anak-anak sekolah pakai seragam. Malah lebih berasa lagi berada di institusi pendidikan, gak sih, dibanding pakai baju bebas?
Aku ingin kebiasaan ke masjid, mengikuti TPA, memakai gamis laki-laki, dan diajar oleh Syekh menjadi salah satu pengalaman berharga untuk anak-anakku. Semoga pengalaman ini kelak meneguhkan anak-anakku dalam iman Islam di kehidupannya. Aamiin.
Update: sama seperti stuggle-nya orang tua membawa anak ke tempat les, ada kalanya anakku malas datang ke masjid. Anak pertamaku tampak enggan untuk pergi ke masjid hari ini, Rabu 15 Oktober 2025. Setelah aku cecar (lol), ternyata dia belum hapal surat yang ditugaskan. Aku tunda kegiatan memasak, kusuruh anak itu duduk, aku bacakan tiap ayat berkali-kali sambil dia ikut membaca.
Aku ulang terus sampai akhir surat. Lalu aku uji. Alhamdulillah, dia apal surat Al-Quraisy sekali duduk. Dia mulai percaya diri dan melupakan rasa enggannya.
Hari ini aku justru melihat perkembangan hubungan yang baik dengan imam "galak" (sebutannya anak-anakku wkwkwk Ya Allah, ampuilah bocah-bocah ini. Semoga Allah merahmati imam tersebut). Waktu anak-anak melepas sepatu sebelum masuk ke masjid, sang imam memuji, "MasyaAllah, what good boys"
Waktu pulang, aku berpapasan dengan imam. Imam tersebut menyapa dengan ucapan salam lalu dia bercerita bahwa beliau sebelumnya belum tahu seberapa jauh anak-anakku bisa baca Al-Quran. Beliau mengetes anak pertamaku dan mengakui bahwa anakku ternyata sudah menguasai kaidah-kaidah baca Al-Quran. Alhamdulillah, apa yang aku ajarkan selama ini ternyata bermanfaat untuk anakku.
Sebenarnya, aku mengikuti kelas tahsin juga. Beres kelas, aku langsung ajarkan ilmu tahsin ke anak-anakku. Mudah-mudahan jadi amal jariyah untuk guru-guru tahsinku.
Sewaktu dalam perjalanan pulang di mobil, anak pertamaku bercerita bahwa imam bersikap lebih ramah dan baik ke dia dan adiknya, dibanding siswa lainnya yang lebih tua. Anakku (dengan pedenya) mengakui kalau dia dan adiknya adalah the nicest students in the class. Wkwk aamiin ya, Nak. Semoga kalian semakin nyaman pergi ke masjid dan bisa menikmati indahnya iman Islam :)






Posting Komentar
Posting Komentar