Aku berencana update kehidupan di blog saja. Alasannya, aku lagi capek banget liat media sosial berbasis foto itu loh. Mentalku lagi tidak benar-benar sehat untuk mengonsumsi konten-konten di media sosial. Selain itu, ada alasan lain kenapa blog akan menjadi media sosial utamaku.
Menutup Jalan Membenci Orang Lain
Beberapa waktu lalu, aku tanpa sengaja membenci orang dengan membabi buta. Tak lama, aku dapat kabar tidak menyenangkan dari keduanya.
Pertama, ada seorang anggota baru yang masuk komunitas yang aku ikuti. Mulanya ia ikut saja dengan diskusi dan kegiatan yang sesuai dengan tujuan grup. Hingga suatu saat, ia malah mengaktifkan grup untuk diskusi politik.
Aku kesal. Grup ini menjadi top tier komunitas yang paling aku sukai dan membuatku nyaman. Tiba-tiba saja ada orang yang datang membawa ketidaknyamanan. Karena aku gak kenal, aku juga malas mengungkapkan rasa tidak nyamanku di grup. Pada akhirnya, aku hanya membenci anggota itu. Aku bahkan tidak aktif lagi di grup dan berhenti mengikuti kegiatannya.
Suatu saat aku dengar kabar dia mengalami musibah yang melukai fisiknya. Pas aku tahu, aku langsung istighfar. Mungkinkah kebencianku bisa melukai orang lain? Ketemu saja belum pernah. Melihat fotonya paling hanya sekali.
Kedua, beberapa waktu lalu ada teman dari Chicago yang bilang ingin berkunjung ke Seattle dan numpang menginap. Dia seorang laki-laki yang usianya lebih tua dari kami. Mulanya aku oke-oke saja waktu beliau bilang mau ke sini dan menginap. Namun, aku menjadi sebal karena satu hal.
Waktu suamiku nelpon beliau menanyakan rencananya, beliau bilang mau datang di minggu kedua bulan September. Suami sudah jelaskan kalau dia tidak akan ada di apartemen karena akan pergi ke California untuk perjalanan dinas. Yang bikin gong adalah, beliau tanya apakah aku ada di rumah?
Aku kaget. Lah, maksudnya gimana? Beliau mau nginap di apartemen kami dan hanya bersama aku dan anak-anak? Sehat gak ini?
Aku dan suami saling bertatapan. Suami beralasan aku akan ikut dia pergi ke California untuk menegaskan “jangan ke sini” sebelum suami ada di apartemen. Jadi, teman kami berencana datang Minggu, 14 September 2025.
Hari itu tiba. Beliau sudah mengirim foto boarding pass penerbangan dari Chicago ke Seattle. Jam 12 siang harusnya beliau sampai di Seattle. Waktu suamiku siap-siap berangkat, dia sempat SMS dan telpon tamu ini. Anehnya, tidak ada jawaban dan sambungan telpon dialihkan.
Satu jam berlalu. Suamiku cek penerbangannya apakah delay. Ternyata, sudah landing. Kami jadi khawatir. Suamiku coba telpon beberapa teman lain di Chicago.
Beberapa jam kemudian sudah dipastikan kemungkinan besar kondisi bapak ini. Dia ditangkap petugas keimigrasian di Chicago. Pasalnya, teman satu apartemen beliau mengkonfirmasi bahwa beliau sudah pergi ke bandara di Chicago. Bahkan, dua jam setelah jadwal terbang yang seharusnya, beliau memberi tahu temannya supaya tidak menghubungi dirinya.
Bapak ini adalah imigran ilegal. Dia tidak punya izin tinggal yang jelas di Amerika. Namun, beliau bisa lepas dari pengawasan dan bekerja di sini. Sepertinya, ini juga pertama kalinya beliau naik pesawat domestik di Amerika. Analisa kami, identitasnya sudah di-tag karena masuk dengan izin terbatas, tapi gak pernah keluar dari Amerika.
Aku memang sempat kesal, benci, dan ogah-ogahan kalau bapak itu sampai di sini. Kenal banget juga enggak, masa udah mau numpang nginep? Mana maksa...
Hanya saja, kasus bapak ini juga mengingatkanku bahwa aku juga bisa mengalami hal serupa. Aku masuk ke Amerika secara legal, tapi masalahnya, aku belum pernah keluar dari Amerika. Aku khawatir petugas imigrasi bisa mencari-cari celah untuk menangkapku. Belum lagi, akhir November nanti aku berencana naik pesawat ke Chicago. Ketakutan ini semakin nyata.
Ketiga, akhir-akhir ini aku juga mulai memperhatikan ketimpangan kehidupanku dan adik ipar baru. Dia bekerja, bebas ke mana saja, bisa liburan glamping, main ke mall, bioskop. Sedangkan aku? Sejak menikah aku tidak pernah merasakan itu semua.
Hidup aku susah dan uang adalah resource yang sangat limited. Izin tinggalku tidak memungkinkan aku untuk bekerja. Kontan, aku hanya stuck di dalam rumah.
Aku takut kelewat iri dengan adik itu apalagi sampai benci. Aku rasa, ini saatnya aku menjauhkan diri dari media sosial untuk mencegah rasa benci kepada orang lain. Aku tidak ingin tanpa sengaja mencelakakan orang lain.
Blog Menjadi Tanda Aku Masih Hidup
Tinggal sendirian di luar negeri tanpa keluarga dan sahabat, berarti tidak ada yang peduli jika aku menghilang. Seandainya kasus bapak itu terjadi kepadaku di saat suami lagi kerja, tidak akan ada yang menyadari bahwa aku hilang. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan kalau petugas imigrasi menangkapku saat menjemput anak sekolah. Siapa yang akan mengurus kedua anakku?
Nah, blog ini akan menjadi tanda kalau aku masih hidup dan masih bebas. Kalau kamu cek blog aku dan tidak ada update lebih dari sebulan, tolong hubungi suamiku untuk mengecek kondisiku. Kamu bisa email suamiku di daniar.h.k[at]gmail.com. Ya, itu juga kalau ada pembaca blog ini yang benar-benar peduli dengan kondisiku :)
Kalau kamu tanya, memangnya apa yang bisa kamu lakukan kalau kamu tahu kabarku meninggal atau ditangkap petugas imigrasi dan di tahan? Kalau aku meninggal, kamu bisa kabari teman-temanku dan keluargaku di Indonesia. Kalau aku kena detention (ditahan), kamu bisa up kasus ini di media. Pasalnya, aku orang yang masuk ke Amerika secara legal dan belum pernah mengalami penolakan visa Amerika.
Mungkin sebaiknya aku cerita gimana dulu aku bisa masuk ke Amerika kali, ya? Udah enam tahun yang lalu tapi belum sempat aku tuliskan aja hehe
Aku doakan semoga pembaca blog ini dalam keadaan sehat dan selalu aman. Aku tahu kondisi di Indonesia juga sedang kurang kondusif. Kalau kamu juga sedang tidak merasa aman, kamu juga boleh minta bantuanku untuk selalu mengecek kondisimu. Kita bisa saling cek. Kamu bisa email aku, ada di bagian bawah page ini, klik tulisan email.
Yuk, saling jaga 🫂
Posting Komentar
Posting Komentar