Ilma Hidayati Purnomo

Cerita Lucu Saat Hiking

Posting Komentar
Cerita soal hiking kemarin belum beres (baca dulu bagian sebelumnya, deh). Terpaksa aku sudahi karena ada batas jumlah kata buat setor tantangan blogging padahal ada beberapa hal konyol yang aku skip. Anggap aja blogpost ini lanjutan cerita hiking kemarin.


Pamer Sambil Ngos-ngosan

Dua minggu sebelum hiking, suami bilang pingin beli Apple Watch 11, smartwatch keluaran terbaru yang baru mau dirilis. Dia bilang pingin bisa nge-track kalau lagi hiking. Jadi, dia order di situs resmi Apple. Jam itu sampai di apartemen kami tepat satu hari sebelum berangkat hiking.

Malam sebelum hiking, suami ngutak-atik smartwatch terbarunya. Aku mengamati dia sibuk sampai tengah malam. Makanya aku baru tidur jam 12an. Suami sempat bilang kalau smartwatch-nya terlalu kecil di pergelangan tangannya, mending buat aku aja. Aku menolak karena aku juga masih punya Apple Watch yang dia belikan 6,5 tahun lalu. Smartwatch punyaku masih berfungsi dengan baik meskipun baterainya sudah tidak bertahan lama.

Saking senangnya dengan jam tangan baru, suami pakai juga saat tidur. Bahkan, dia pergi hiking juga pakai dua jam tangan: Apple Watch dan automatic watch kebanggaannya yang selalu ia pakai setiap keluar rumah.

Sebagai dua orang dewasa usia 30-an yang tidak aktif secara fisik, nanjak di bukit kayak gini bikin napas kami tersengal-sengal. Karena sama-sama pakai Apple Watch, kami jadi tahu berapa denyut jantung kami waktu lagi ngos-ngosan karena nanjak. Terjadilah ajang pamer denyut jantung.

“Kamu berapa bpm, Il?”
“Aku 150. Hah hah hah. Kamu?”
“160!”

Kami pun duduk di atas batu sambil menunggu denyut jantung turun sampai 100an.

“Eh, paling tinggi aku sampai 170 bpm,” kata suami. Wkwkwk pamer macam apa ini.

Punya Babysitter Dadakan

Karena terlalu ngos-ngosan, aku dan suami jalan paling belakang dibanding dua teman suami yang usianya 20an, dan juga dua anak kami. Ya, kamu gak salah baca. Anak kami yang usianya 5 dan 7 tahun lebih kuat jalan nanjak, tanpa ngos-ngosan, mengeluh pegal apalagi capek. Aku kira anak kecil bakalan susah dan ribet diajak jalan jauh. Ternyata, malah aku, orang tuanya, yang gak sanggup ngikutin pace mereka.

Alhasil, kedua anak kami jalan jauh di depan bersama kedua teman suami. Dua laki-laki itu jadi babysitter dadakan yang memastikan kedua anak kami menyusuri jalur hiking dengan aman. Termasuk ngasih tau kedua anak kami kalau dua bocil ini diem di tengah jalan saat ada hiker lain yang mau lewat. 

Wkwkwk, lumayan ada yang bantuin ngasuh anak.

Buka Baju di Tengah Jalan

Jalan kaki sekitar dua jam membuat kami kegerahan. Suhu udara hari itu memang lumayan panas, di atas 25 derajat celcius padahal pagi harinya waktu kami berangkat hanya berkisar 13 derajat celcius. Waktu hiking, aku pakai kaos dibalut jaket kaos ber-hoodie. Sedangkan suami pakai kaos dibalut insulated jacket. Jadilah dia keringetan.

Berhubung aku dan suami jalan paling belakang, kami cukup berhenti ketika teman suami (plus kedua anak kami) sudah jalan jauh di depan dan tak terlihat. Suami bilang mau pakai jaketku aja karena dia kepanasan. Setelah celingak-celinguk memastikan tidak ada orang yang bakal liat, dia buka insulated jacket-nya sekalian buka kaosnya. Beuh, kaosnya basah kuyup persis kain lap habis buat ngelap tumpahan air.

Waktu dia lagi buka baju, suami sempet bilang, “Balikin itu.” Karena udah capek, otakku nge-hang dan gak paham apa maksud perkataan suamiku. Masih dalam keadaan bertelanjang dada, dia mengambil jaket kaos yang aku pegang. Dengan kesal dia berkata, “Jaket yang kamu pegang itu lho!”

Ternyata dia minta bantuanku membalik jaket itu karena bagian dalam lengannya keluar. Harusnya aku balik.

Wkwkwk lumayan lah pak suami jadi kena ademnya angin dikit sebelum pakai baju lagi.

BAK di Lereng Curam

Sebagai orang tua yang bertanggung jawab (lol), kami sering meminta anak-anak jalan bareng kami. Terutama si kecil yang kadang sense of danger-nya masih terbatas. Sebaiknya, dia memang digandeng sepanjang jalan.

Dua jam jalan kaki membuatku kebelet pipis. Di gunung gak ada toilet, meskipun kami udah jalan sampai puncak. Alhasil, waktu teman-teman suami jalan udah jauh di depan, suami memintaku dan anak-anak untuk berhenti. Dia bilang sebaiknya aku pipis di bawah pohon di lereng, sedangkan anak kami bisa pipis di atas lereng. Asalkan tidak ada orang, anakku bisa buang air dengan cepat. Cowok mah kan simpel ya, kalau mau buang air.

Di dekat tempatku berhenti, ada pohon pinus yang dahan dan daunnya tumbuh sampai dekat tanah. Cukup rindang sehingga menjadi tempat yang pas buat sembunyi.

Sambil membawa botol air minum, mulai menuruni lereng yang curam. Pelan-pelan aku melangkahkan kaki sambil berjongkok. Hingga aku sampai di sebelah pohon. Tiba-tiba aku mendengar suara sekelompok orang mendekat. Karena panik, aku berusaha masuk ke bawah dahan-dahan pohon.

Sreekkk!

Kakiku kepeleset dan aku bertumpu pada sikut. Punggungku sekarang berada di atas tanah lereng yang curam. Sedikit-sedikit aku menggeser badanku ke bawah dahan pohon untuk sembunyi. Aku tengok ke atas untuk memastikan orang-orang tadi sudah pergi. Buru-buru aku BAK lalu mengalirkan air minum untuk membersihkan.

Dengan berhati-hati, aku memanjat naik ke jalur hiking sambil meraih apapun yang bisa aku pegang untuk menjaga badan ini. Taku kepeleset lagi!

Wkwkwk mau buang air aja taruhannya kepeleset di lereng.

Duduk di Bagasi Mobil

Waktu aku sampai di titik kumpul pertama sebelum berangkat ke gunung, aku terkejut melihat teman-teman suami. Dari sekitar 7 orang yang datang, hanya satu orang yang kukenali wajahnya. Aku sudah cukup sering bertemu teman-temannya suami saat hiking atau acara makan-makan di rumah salah seorang teman. 

Lah, ini orang baru semua. Mana wajahnya China dan India padahal yang biasa aku temui, kebanyakan orang Korea Selatan. Maklum, start up tempat suami kerja asalnya dari Korsel. Kadang, pegawai di Korsel datang berkunjung ke kantor cabang Amerika.

Suami cerita, ternyata orang-orang yang ikut hiking kali ini adalah pegawai baru yang dia rekrut. Sedikit cerita, suami baru kerja di kantor ini summer 2024. Mulanya, ia hanya software engineer biasa yang bertugas men-deploy software uji coba di hardware produksi perusahaan ini. Perusahaan ini mulanya bergerak di pembuatan hardware yang didukung AI (seperti DPU, GPU, storage system). Nah, untuk menguji performance hardware ini, suamiku masuk ke divisi software yang membuat software uji coba.

Dasar suamiku yang sukanya melakukan improving system, software yang mulanya cuma buat menguji, dia improve. Dengan latar belakang keilmuan storage, distributed system, dan AI, dia membuat petinggi perusahaan ini kaget. Kok bisa software ini running dengan kecepatan tinggi?

Dengan kebetulan yang pas, manajer divisi software pindah ke perusahaan lain, suamiku ditunjuk menjadi manajer divisi software. Baru 6 bulan masuk perusahaan ini, udah jadi manajer. Semakin getol lah suami melakukan improvement terhadap software ini hingga memenangkan kompetisi LLM tercepat di Amerika, mengalahkan AMD, HP, dll. 

Karena software yang suami kembangkan semakin besar dan menarik banyak client, dia juga perlu menambah pegawai di bawahnya. Itu sebabnya, dia sudah merekrut belasan orang untuk bekerja di divisinya.

Balik ke cerita hiking. Setelah berjalan lebih dari 4 jam, sampailah kami di area parkir, tetapi bukan tempat kami memarkirkan mobil. Kami sampai di area parkir Artist Point, area scenic view paling atas. Sedangkan mobil kami di are parkir bagian bawah. Kakiku rasanya udah lemas banget, gak sanggup lagi mau jalan ke mobil.

Suamiku ngide jalan cepat melintasi area parkir hingga menyebrang jalan besar. Kebetulan sekali, ketemu temennya yang sebelumnya kami ikuti mobilnya lalu tiba-tiba menghilang. Aku juga nyebrangin jalannya. Tau-tau ada mobil dari samping! Kaget banget dong. Pengemudi mobilnya juga pasti gak ekspek bakal ada orang nyebrang di situ.

Hah… Parah banget hampir ketabrak.

Akhirnya, temen suami ambil mobil yang kebetulan dekat situ dan berencana membawa kami semua ke area parkir bawah. Inilah bagian konyolnya. Mobil teman suami itu sekelas Toyota Avanza yang 5 seater. Total ada 6 orang dewasa dan dua anak kecil yang harus dibawa. Dengan sukarela (dan sukacita lol) suamiku menawarkan diri duduk di bagasi.

Dia bilang, di Indonesia mah udah biasa wkwkwk. Jadi dia duduk di bagasi, sedangkan aku dan anak-anak beserta dua teman suami di kursi penumpang belakang. Suami malah tampak asyik duduk di bagasi haha.

Sampai di area parkir bawah, semua orang keluar dari mobil kecuali suami. Kan pintu bagasi harus dibuka dari luar. Teman suami, si empunya mobil, bilang, “Ey, let’s get our boss out.”

Wkwkwk bosnya dibawa di bagasi mobil.

Beginilah hidup kami. Kadang susah (gara-gara visa), kadang drama (gara-gara visa juga wkwkwk), tapi kami berusaha menikmati hidup apa adanya dengan segala kekonyolannya.

Ilma
Ibu rumah tangga yang kadang belajar hal baru, menulis, memasak, atau ngajar anak. Saat ini tinggal di Amerika Serikat.
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar