Ilma Hidayati Purnomo

Romantisme Saat Hiking

Posting Komentar

Sabtu minggu lalu, 20 September 2025, aku bangun jam lima pagi. Meskipun baru tidur lima jam, rasa kantukku hilang dan tubuhku siap meracik bekal. Dengan sigap, aku masak nasi goreng udang dan ayam goreng tepung.

Pukul enam, aku bangunkan suami dan anak-anak. Hari masih gelap, tapi kami sudah bersiap. Aku dan anak-anak sarapan sedikit. Beres bersih-bersih badan, aku memasukkan perbekalan, baju ganti, kartu kredit, dan ponsel ke tas. 

Jam 7:20 kami meninggalkan apartemen menuju Redmond Public Library. Parkiran perpus ini menjadi titik kumpul aku dan teman-teman kantor suami. Berangkat dengan total empat mobil, kami berkendara ke arah utara menuju gunung yang akan kami daki. 


Perjalanan Menuju Gunung

Bangun paling pagi, menyiapkan kebutuhan semua orang, hingga menyetir mobil adalah tugasku. Kadang aku lakukan tugasku sambil ngedumel dalam hati. Kok capek bener jadi istri dan ibu?

Pekerjaan yang menurutku berat adalah masak dan siap-siap. Pasalnya, semua ini cenderung aku lakukan sendirian. Berbeda dengan menyetir mobil, aku memang suka duduk di belakang kemudi. Selain itu, bagiku, menyetir mobil itu kegiatan romantis. 

Sejak kuliah, aku memang senang mengantarkan cowok yang aku suka dengan mobilku. Mungkin bahasa cintaku adalah act of service, spesialis jadi tukang antar wkwk. 

Selama melakukan road trip jarak jauh pun, biasanya aku yang menyetir. Dengan menyetir, aku bebas dari tugas sebagai ibu yang harus menenangkan anak-anak yang rewel. Suamiku akan sigap mengondisikan anak-anak supaya tidak lapar, merengek, apa lagi berantem. 

Kurang romantis apa coba, ketika suami mengambil alih kegiatan parenting? Hehe. Suami juga jadi lebih perhatian. Lebih sering nanya, aku ngantuk nggak. Laper nggak. Juga jadi lebih sering ngajak ngobrol. Tiba-tiba ngomongin mobil yang bentuknya aneh atau ngomentarin macet di jalan yang tidak diketahui sebabnya apa. Biasanya, kalau di rumah dan habis pulang kerja, dia lebih sering diam atau fokus ngajak anak-anak main.

Setelah berkendara selama 1 jam 10 menit di highway, sekitar 128 km, kami berhenti di Fred Meyer, grocery store. Suami ngecharge mobil, aku masuk ke supermarket. Aku beli air mineral, buah, roti, dan colokan buat ngecharge ke mobil.

Ilustrasi colokan yang aku maksud

Beli colokan ini agak tricky. Suami pinginnya yang arusnya di atas 1 Ampere. Jadi selama di toko aku sambil nelpon suami mau beli colokan yang mana. (Iya, aku ngerasa cupu banget jadi lulusan Teknik Elektro tapi suka pusing sama electrical appliances. Suamiku yang anak Informatika malah lebih ngerti 🙃)

Nah, pas aku akhirnya ambil satu colokan dan balik ke mobil, suami bilang, “Lah kok watt nya kecil? Cuma 5 Watt?” Padahal di situ juga tertulis 1 Ampere loh. Aku disuruh balik lagi ke toko, cari yang watt-nya besar dan balikin colokan yang aku beli. Akhirnya aku beli colokan yang punya dua USB port, outputnya 1 Ampere masing-masing, 24 watt, 12 V. Aduh, my math ain’t mathin’. Beruntung suami sabar menghadapi istrinya yang lulusan elektro abal-abal wkwkwk

Beres dengan urusan beli colokan, aku nyetir lagi. Kali ini aku berkendara di jalan luar kota (bukan highway) hingga sampai ke jalan pegunungan yang berliku. Sekitar 1 jam 30 menit, sejauh 80 km, kami sampai di Picture Lake. Danau ini sudah masuk area North Cascade National Forest, tempat kami akan hiking di salah satu gunungnya.


Lunch with A View

Namanya aja Picture Lake. Aslinya memang kayak danau di gambar walpaper komputer atau lukisan pemandangan. Danau ini airnya biru. Di belakang danau, ada gunung dengan salju abadi yang menjulang. Parah. Cantik banget.

Kalau romantisme bisa diartikan sebagai keindahan, danau ini juga menunjukan betapa Tuhan Sang Pencipta itu romantis. Ia memadukan air yang tenang dengan gunung yang gagah. Sebuah kombinasi yang sejuk dipandang mata.

Di sini, kami duduk di bangku di samping danau. Kami buka perbekalan lalu makan sambil bercakap-cakap. Teman kantor suami yang ikut perjalanan kali ini laki-laki semua. Ada satu orang, selain suamiku, yang bawa istri dan anak. Sambil makan, aku berbincang dengan istri teman suami.

Beres makan, sekitar jam 11:40, kami menuju ke titik pemberhentian selanjutnya, mengikuti salah satu mobil teman suami. Jalan yang kami lewati meliuk-liuk. Namun, saat melihat ke kanan dan kiri, kami disuguhi pemandangan tebing berbatu yang indah dan gunung yang megah. Pantas saja ada rombongan Porsche, Corvette, dan motor Harley. Emang cucok buat drive with a view.

Tiba-tiba saja mobil teman suami entah ke mana, tidak terlihat lagi. Kami sempat meminggirkan mobil untuk menelpon. Sayangnya, sinyal di sini minim sekali padahal kami sempat melewati satu tower BTS di jalan meliuk-liuk. Sulit untuk menghubungi teman, kami memutuskan untuk mengikuti jalan menanjak sampai puncak. Sampailah kami di Artist Point.

Artist Point adalah lokasi buat scenic view, parkiran, dan pintu menuju jalan untuk hiking. Di sini kami bisa liat Mount Baker, salah satu gunung bersalju di Pegunungan North Cascade.

Kami menikmati pemandangan sambil memutari area parkir. Karena penuh, kami memutuskan untuk keluar dari sini. Sewaktu mengantri di belakang mobil-mobil lain, kami lihat mobil teman suami. Kukira mobil itu bakal keluar. Ternyata malah masuk ke area parkir lagi untuk mencari spot kosong!

Suami memintaku keluar saja. Kami berkendara di jalan meliuk-liuk melewati beberapa hairpin (jalan berkelok 180 derajat, mirip jepit rambut). Pemandangannya sih indah, tapi mataku harus fokus ke jalan. Pasalnya, aku berkendara di sisi tebing! Salah dikit bisa masuk jurang.


Kapan Mulai Hikingnya?

Sampailah kami di area parkir lain, jalan masuk ke Bagley Lakes Trailhead. Ternyata, kami harus bayar biaya masuk taman. Biayanya cuma $5 tapi yang bikin pusing, harus bayar online. Kami kan lagi di atas gunung dan susah sinyal.

Mungkin ini kedengeran aneh buat orang Indonesia. Kok tempat wisata gak ada gerbang utama buat bayar tiket masuk? Di sini, gak semua tempat wisata alam ada gerbang utamanya. Sebenernya, kalau mau berkunjung ke tempat wisata alam, disarankan cari tahu dulu biaya masuknya lalu bayar secara online dan print konfirmasi pembayarannya. Bisa juga beli pass, semacam tiket bebas masuk tempat wisata. Ada pass harian juga tahunan. Aku punya salah satu pass, tapi cuma bisa dipakai di taman milik Washungton State, sedangkan gunung yang kami kunjungi ini punya pass terpisah.

Aku dan suami nge-scan QR code di papan pengumuman di area parkir buat bayar biaya masuk. Ternyata, kami diarahkan buat download aplikasi recreation.gov. Ah, elah, sinyalnya aja naik turun malah disuruh download apps. Jadi terpaksa, suami minta temennya bayarin dulu. Terus kami tulis kode konfirmasi pembayarannya di selembar kertas dan ditaroh di atas dashboard mobil supaya kami tidak kena denda.

Bukan cuma sampai di situ hambatan hiking kami, ternyata jalan masuk ke Bagley Lakes Trailhead ditutup. Park Ranger (petugas di taman wisata) menyarankan kami kembali ke Artist Point dan memulai hiking dari sana. Aku berkendara lagi menyusuri jalanan berliku. Melewati satu area parkir di sisi kanan jalan. Suami tiba-tiba menyuruhku berhenti dan minggir ke sisi jalan.

Dia minta aku pergi ke area parkir yang tadi terlewat saja, daripada harus balik lagi ke Artist Point, buang-buang waktu banget. Jadi aku memutar di jalan menanjak yang nggak begitu luas. Agak serem juga karena bisa ada mobil yang tiba-tiba datang.

Akhirnya, sampai juga kami di Heather Meadows Visitor Center. Kami sampai di area ini hanya dengan satu mobil teman, isinya cuma dua orang laki-laki. Kami putuskan mulai hiking saja, tidak perlu menunggu teman yang lain. Pasalnya, ini sudah jam 2 siang wkwkwk. Bayangkan, berangkat jam 7 pagi, baru mulai hiking jam 2.

Perjalanan kami mulai dengan menyusuri tebing berbatu. Bahkan ada satu section yang sempit sekali. Benar-benar hanya muat untuk satu orang. Aku harus jalan duluan sampai ke ujung, naroh tas bawaan di tanah, lalu balik lagi buat megangin si kecil.

Sepanjang perjalanan, kami disuguhkan dengan danau jernih kebiruan, gunung dengan salju abadi, hingga semak berwarna kemerahan di sisi jalan. Saat berjalan, aku menyadari ada aroma manis seperti buah berry. Saat aku cek semak berdau kemerahan di sisi jalan, ternyata ada buah blueberry-nya!

Mulanya kami abaikan buah itu. Banyak pejalan kaki lain yang menyapa (terutama karena melihat di grup kami ada dua anak kecil), mereka mengomentari buah blueberry di sepanjang jalan dan meminta kami mencoba. Kami masih tahan diri, agak geli juga makan buah dari tanah. Sampai akhirnya, aku dan suami yang merupakan kaum sedentary, kelelahan menanjak. Suami duduk di pinggir jalan sambil memungut blueberry. Dia bilang rasanya luar biasa!

Aku yang penasaran jadi ikut mencoba. Wow. Ini rasa blueberry paling enak yang pernah aku coba. Blueberry yang aku beli di toko rasanya cenderung sedikit manis atau sedikit kecut. Namun, blueberry di gunung ini rasanya… seperti punya dimensi. Manis, wangi bunga, wangi buah pisang, tapi juga rasa blueberry. Mirip perisa blueberry artificial wkwkwk. Pantesan dulu aku heran sama makanan yang ada perasa buatan blueberry. Kok rasanya wangi dan beda dengan blueberry segar di toko? Ternyata, memang aslinya begitu, kalau makan dari tumbuhan blueberry liar!

Aku dan suami jadi punya alasan buat berhenti tiba-tiba kalau terlalu ngos-ngosan buat nanjak. Buat makan blueberry! Anak-anak kami yang usianya 7 dan 5 tahun malah lebih kuat nanjak dan gak gampang ngos-ngosan. Dua teman suami yang jalan bareng kami sih usianya sekitar 20an, masih lebih kuat jalan dibanding aku dan suami wkwkwk.

Jadi, sepanjang perjalanan hiking sejauh 8 km (4 jam 15 menit) aku dan suami lebih sering di belakang barisan. Saling memberhentikan kalau terlalu ngos-ngosan. Istirahat bareng dan saling memastikan udah siap jalan lagi atau belum. Menurutku, ya itu romantis.

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog kali ini susah, deh. Lebih dari 3 kali nulis, hapus lagi gara-gara geli…

Ilma
Ibu rumah tangga yang kadang belajar hal baru, menulis, memasak, atau ngajar anak. Saat ini tinggal di Amerika Serikat.
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar