Musim Panas Tanpa Rencana
Liburan musim panas bagi anak sekolah di US umumnya berlangsung sekitar dua bulanan. Buat sebagian besar orang tua, melihat anak mereka berdiam diri saja di rumah selama dua bulan bagaikan neraka. Para orang tua ini bergegas mencari dan mendaftarkan berbagai summer program atau summer school supaya anak mereka berkegiatan layaknya hari sekolah.
Berbeda denganku, aku justru merasa nyaman ketika keluargaku lengkap semua ada di rumah. Memang tidak bisa dipungkiri kalau pertikaian akan lebih sering terjadi di antara kami saat semua berkumpul. Namun, ada rasa aman yang muncul saat aku melihat fisik suami dan anak-anakku di rumah. Analisaku, rasa aman itu hadir karena hanya merekalah keluargaku, orang Indonesia, yang ada di sini.
Aku benar-benar sering merasa resah kalau anakku belum pulang sekolah dan suamiku belum pulang kerja. Rasanya seperti ada sesuatu yang sangat penting yang tertinggal di luar rumah. Pingin langsung jemput gitu aja, bawa pulang, dan memastikannya selalu berada dalam radius pandanganku! Ah, aku ini posesif, ya (:
Itulah sebabnya aku santai saja ketika anak keduaku yang hampir berusia lima tahun belum bisa didaftarkan ke sekolah negeri. Dia benar-benar belum pernah ikut program belajar di luar rumah dalam bentuk apapun seumur hidupnya. Nah, untuk kakaknya, aku memastikan selama liburan musim panas, kami harus menghabiskan banyak waktu bersama, selain berantem :p
Meskipun anakku tidak kudaftarkan program apapun, bukan berarti anakku tidak melakukan apa-apa selama dua bulan. Mulanya kutanya suami dulu, ini anak mau diajarin apa lagi. Biasanya, suamiku paling semangat soal ngajarin anak. Itu sebabnya anakku sudah lancar perkalian dan pembagian bersusun berapapun banyak digitnya. Namun, kali ini ia menyerahkan kepadaku urusan hal apa yang mau diajarkan ke anak sulung.
Rencanaku, aku ingin dia menyelesaikan buku iqro hingga tuntas. Aku juga ingin mengajarkannya naik sepeda roda dua. Juga, aku ingin melakukan banyak pembiasaan hal baru, seperti membiasakan berbincang menggunakan Bahasa Indonesia. Masih ada beberapa hal lain yang ingin aku ajarkan. Sayangnya, karena sebagian besar tidak terstukur, aku lebih fokus pada hal-hal yang aku tetapkan deadline-nya, seperti bisa naik sepeda roda dua.
Perjalanan Belajar Naik Sepeda
Waktu masih tinggal di Chicago, kami sudah punya dua sepeda anak-anak. Sepeda itu kami dapat secara gratis atau beli seken dari grup neighborhood. Aku sudah pernah coba ajarkan anak sulung untuk naik sepeda roda dua (sepedanya memang cuma punya dua roda pas kami dapatkan). Masalahnya, di Chicago dulu tidak ada taman di dekat apartemen yang memiliki bike trail ramah anak. Alhasil, aku ajak anakku belajar naik sepeda di parkiran kampus yang cukup sepi.
Waktu itu anakku masih berusia lima tahun, badannya masih kecil. Dengan telaten, aku pegang bahunya supaya badan anakku tidak jatuh saat keseimbangannya hilang. Kadang, aku pakai kain jarik yang aku lingkarkan ke bawah ketiaknya. Aku cukup memegang kain jarik itu dari belakang untuk menjaga badan anakku supaya tidak limbung. Tanganku pegal, kakiku juga pegal karena harus mengikuti laju sepedanya.
Pindah ke Seattle tahun 2024, aku menemukan taman dengan bike trail ramah anak di belakang apartemen. Kulihat ada beberapa anak yang latihan naik sepeda di sana. Waktu itu, suamiku beli sepeda anak dan skuter di marketplace. Namun, suamiku hanya memperbolehkanku mengeluarkan skuter dari rumah. Sepedanya masih terparkir di sudut ruangan, di bawah kasur susun, tempat tidur kedua anakku.
2 Juli 2025. Dengan semangat tinggi, aku putuskan mengeluarkan sepeda roda empat yang sudah setahun terparkir di sudut apartemen. Aku angkut dan masukkan ke bagasi mobil. Diperlukan banyak usaha untuk memasukkan sepeda roda empat itu karena di dalam bagasi sudah ada dua sepeda lipat dan trailer. Alhasil, aku terpaksa mengeluarkan trailer. Sepeda anakku bahkan harus aku taroh di atas semua sepeda hingga stangnya berada di atas kepala kursi penumpang belakang.
Kami pergi ke taman dekat apartemen yang memiliki lajur pesepeda yang ramah anak. Hari itu dan besoknya kami pergi ke taman. Aku perhatikan anakku sudah tahu cara mengayuh hanya saja kayuhannya terasa berat akibat gesekan dua roda tambahan. Saat itu aku belum punya rencana sebaiknya apa tahap latihan selanjutnya. Ditambah, waktu itu anakku sempat sakit dan berturut-turut menghadiri sejumlah acara. Kegiatan belajar sepeda roda dua pun ditunda cukup lama.
Liburan Hampir Berakhir!
Tau-tau liburan dua bulan sudah di pucuk mata dan rencanaku belum semuanya terealisasi! Ah, aku terlalu senang melihat anak-anakku di rumah sehingga aku terlalu santai. Akhirnya, aku coba cari cara tercepat mengajarkan anak naik sepeda roda dua di Google. Lalu, aku menemukan salah satu thread reddit yang menyarankan orang tua untuk melepas semua roda latihan dan pedal. Intinya sepeda anak dibuat seperti balance bike. Kata penulis thread itu, anaknya hanya butuh waktu seminggu untuk menguasai keahlian sepeda roda dua.
Baiklah, saatnya mengeluarkan sepeda anakku yang sudah lama berada di dalam bagasi mobil. Betapa terkejutnya aku menemukan roda depan sepeda itu sudah kempes hingga hampir keluar dari velg! Terpaksa aku bongkar semuanya: melepas pedal, roda latihan dan roda yang kempes. Aku lepas ban luar dan ban dalam dari velg. Oh, rupanya ada lobang di ban dalam.
Aku coba tambal dengan stiker untuk menambal matras angin. Lalu, aku masukkan kembali ban dalam dan ban luar ke velgnya. Aku pasang lagi rodanya ke sepeda. Semuanya tampak sudah baik-baik saja. Aku tinggal sepeda itu di luar sekitar 30 menit karena aku perlu melakukan sesuatu di dalam rumah. Setelah selesai, aku panggil anak-anakku untuk mencoba sepeda itu. Ternyata, ban sepeda itu kempes lagi!
Rupanya stiker penambal matras anginnya tidak cukup kuat. Aku memutuskan untuk beli alat untuk menambal ban sepeda di toko. Pulang dari toko, aku langsung mencoba kit tambal ban ini. Bentuknya mirip stiker penambal matras angin, tetapi dilengkapi dengan sebuah lempengan besi kecil yang memiliki duri-duri tajam. Aku diminta menggosok sekitar area lobang dengan duri-duri tajam ini sebelum menempel stikernya. Mungkin, dengan membuat sayatan pada ban, stikernya akan memiliki grip, sehingga tidak mudah lepas.
Beres menempel stiker, aku biarkan ban itu terpasang di sepeda. Tiga puluh menit kemudian, ternyata ban itu kembali kempes. Aku search lagi di Google, "kenapa ban sepedaku gak bisa ditambal?" hingga kutemukan thread reddit yang membukakan mataku. Ternyata, kalau ada lobang di ban dalam sepeda yang lokasinya di sambungan, berarti ban itu emang jelek dari sananya. Euh, tau gitu aku beli ban dalam yang baru aja.
Akhirnya, aku baru beli ban dalam beberapa hari kemudian. Ukuran ban dalamnya juga tidak sama persis. Diameternya 16 inch tetapi range-nya bukan 1,75 - 2,125 inch seperti ban dalam bawaan pabrik. Melainkan, 1,75 - 2,3 inch. Kata sales di toko sepeda, ukuran ban dalam itu tidak masalah. Ibaratnya, ban dalam ini seperti balon yang diisi angin dan bentuknya akan mengikuti ban luar. Ya sudah, aku ikut saja.
Latihan yang Sesungguhnya
Tanggal 14 Agustus 2025 pertama kalinya anak pertamaku mengendarai sepedanya tanpa pedal dan kedua roda latihan. Aku lihat kakinya tidak selalu menjejak ke tanah ketika sepedanya bergerak. Dua hari kemudian, aku ajak anakku ke taman lagi untuk latihan bersepeda. Aku lihat, kakinya malah sudah lebih sering terangkat di udara. Aku tawarkan, gimana kalau pedalnya dipasang saja sekalian?
Tanggal 20 Agustus 2025, untuk pertama kalinya anakku mencoba sepedanya dengan pedal yang terpasang. Rupanya, kakinya langsung menyesuaikan! Dengan mendorong sepedanya ke depan lalu meletakkan kedua kaki di pedal, kakinya langsung mengayuh. Wah, aku tak menyangka ternyata mengajarkan sepeda roda dua bisa semudah ini. Cukup dua kali latihan tanpa pedal ternyata langsung bisa naik sepeda roda dua :)
Hanya butuh beberapa kali latihan saja anakku semakin luwes dalam menggerakkan stang sepedanya. Ia hampir tidak pernah jatuh selama berlatih sepeda roda dua. Ternyata, kalau anaknya sudah siap dan diajarkan dengan metoda yang tepat, ia akan menguasai kemampuan yang dipelajari dengan sangat cepat.
Setelah anak pertamaku masuk sekolah, aku ingin coba ajarkan anak kedua untuk naik sepeda roda dua. Sayangnya, badannya masih terlalu kecil untuk sepeda 16 inch. Aku rasa, aku perlu menunggu sampai dia siap.
Pengalaman Berharga Kali Ini
Dari pengalaman ini, aku belajar menambal ban sepeda sendiri. Waktu aku kecil dulu, kalau ban sepedaku kempes, aku pasti langsung bawa sepedaku ke tambal ban dekat rumah. Ternyata, menambal ban sepeda tidak sulit. Aku cukup menentukan, apakah lobang ini bisa ditambal atau tidak. Kalau bisa, cukup menempelkan stiker penambal ban.
Aku juga belajar bahwa anak-anak pasti bisa menguasai kemampuan apapun asalkan anaknya siap (secara emosional dan fisik) juga diajarkan dengan metoda yang tepat. Salah satu bagian dari metoda yang tepat, selain teknik mengajar, adalah dengan menumbuhkan percaya diri anak. Aku selalu bilang kalau anakku siap naik sepeda roda dua dengan pedal (sewaktu pedalnya masih dilepas) hingga anakku sendiri yang minta pedalnya dipasang. Aku juga cuma sekali saja mengatakan bahwa ada lho anak yang lebih kecil dari dia dan udah bisa naik sepeda roda dua (sambil menunjuk anak lain di taman).
Bukankah itu membanding-bandingkan anak, ya? Betul! Tapi lihat lagi poin pentingnya. Aku hanya mengatakan itu sekali saja. Tidak diulang-ulang. Hanya supaya anakku aware tapi jangan sampai kepercayaan dirinya turun.
Sebenarnya, bukan hanya kepercayaan diri anakku saja yang naik dalam rangkaian pengalaman ini. Kepercayaan diriku sebagai orang tua juga naik. Aku percaya, aku bisa mengajarkan sendiri berbagai hal kepada anak-anakku selama aku tahu cara mengajarkannya :)
Posting Komentar
Posting Komentar