Menghilang dari Dunia Maya
Ada satu rutinitas baru yang aku lakukan setiap hari, yaitu mengetik namaku (lengkap maupun sebagian) dengan diapit tanda kutip di Google search pada incognito tab. Aku mengecek, sebanyak apa informasi yang berkaitan dengan namaku muncul di search engine. Kalau informasi itu bisa aku kendalikan, aku akan secepatnya hapus atau ganti. Misalnya, mengganti nama username Instagramku dengan nama yang tidak bisa dikenali orang/search engine.
Alasannya?
Pemerintah tempatku tinggal saat ini memang melakukan background check kepada warga pendatang yang masih pakai visa pelajar. Apa yang mereka cek bisa jadi sangat luas: postingan antisemitism, protes terhadap pemerintah, bahkan tentang pandangan politik pribadi.
Mungkin secara postingan gamblang, aku belum pernah melakukannya di akun utama (ya, aku pernah melakukannya di akun kedua yang buru-buru aku hapus begitu isu ini mencuat). Tapi, aku yakin pernah like atau share di story. Repot juga kalau harus mengecek satu demi satu.
Ketakutanku ini masih logis. Soalnya, waktu aku sampaikan ke suami tentang isu ini dan rencanaku untuk menghapus semua sosial media, suami memang sempat kurang setuju. Ketika aku menyarankan untuk ganti username dengan sesuatu yang tidak terafiliasi dengan nama asli, suamiku setuju. Beliau juga melakukan hal serupa.
Dilansir dari situs resmi USCIS (US Citizenship and Immigration Services), DHS (Department of Human Services) melakukan skrining sosial media bagi pelajar asing hingga orang asing yang sedang melakukan proses pendaftaran permanent resident (green card). Keluarga kami berada di situasi ini.
Masalahnya, sudah enam bulan aku mengurus persyaratan GC (green card) yang rumit, menguras emosi, dan membutuhkan biaya tidak sedikit. Sesak sekali rasanya membayangkan kalau permohonan GC keluarga kami ditolak karena sebuah postingan yang tanpa sengaja aku sebarkan di dunia maya.
Sebetulnya, ada banyak sekali isu terkait keimigrasian yang membuatku terus merasa tidak aman:
1. Pembatalan visa secara sepihak yang mencapai ribuan kasus menurut time.com
2. Moto "A visa is not a right, it's a privilege" yang menunjukkan bahwa visa hanya diberikan kepada orang-orang yang "taat aturan"
3. Banyaknya berita pemegang GC yang ditangkap ICE (U.S. Immigration and Customs Enforcement), bahkan ada berita penangkapan orang yang lagi interview untuk pengajuan GC dilansir dari kansascity.com
4. Puluhan ribu pegawai USCIS (yang mengurusi visa) terancam di-PHK yang berarti akan membuat proses pengajuan visa (termasuk GC) menjadi lebih lama, membuat status kami di US menjadi semakin vulnerable financialexpress.com
5. Pengecekan, penyitaan sementara, hingga pengambilan data alat elektronik oleh U.S. Customs and Border Protection (CBP). Kabarnya, saat melewati imigrasi di bandara, warga asing yang masuk ke US setelah menjalani international travel akan diminta ponselnya dan diambil datanya. cbp.gov
6. Saking mencekamnya, banyak saran yang tersebar di media sosial seperti: jangan balas private message di akun media sosial kalau membahas hal politik, jangan pergi ke tempat umum (sekolah, supermarket), serta berhati-hati kalau ada yang mengetok pintu apartemen dan mengaku sebagai anggota ICE
6. Saking mencekamnya, banyak saran yang tersebar di media sosial seperti: jangan balas private message di akun media sosial kalau membahas hal politik, jangan pergi ke tempat umum (sekolah, supermarket), serta berhati-hati kalau ada yang mengetok pintu apartemen dan mengaku sebagai anggota ICE
Menjadi Invisible di Manapun Berada
Sebisa mungkin kami harus tampil tidak mencolok. Intinya, tidak mengundang orang lain untuk melihat kami dan menghindari konflik, misalnya:
1. Mematuhi aturan lalu lintas supaya tidak terjerat masalah pelanggaran lalu lintas
2. Menjaga suasana apartemen tetap hening supaya tidak menimbulkan masalah dengan tetangga
3. Berbicara menggunakan bahasa Inggris ketika keluar rumah. Pasalnya, ada berita US citizen yang ditangkap ICE karena berbahasa Spanyol di ruang umum truthout.org
4. Meminimalisir pergi ke tempat yang berisi banyak orang. Itu sebabnya kami lebih sering pergi ke taman hutan kota
5. Meminimalisir bepergian jauh yang mungkin membuat kami melewati pos U.S. Customs and Border Protection (CBP). Karena kami pernah tidak sengaja melewati pos ini yang posisinya tidak berada di perbatasan negara.
6. Tidak keluar dari Amerika Serikat untuk sementara waktu, seperti arahan dari Wamen Kemdiksaintek RI.
Kenapa Bertahan?
Sebagian alasan kenapa aku memilih tinggal di negara ini ada di tulisan berjudul Akankah Aku Pulang ke Indonesia di Hari Tua? Alasan singkat untuk saat ini, kalau kami keluar dari US sekarang, kemungkinan kami bisa kembali ke US sangat kecil, seperti yang aku jelaskan di tulisan Mengurus Tiga Visa. Situasi di Indonesia dan di US saat ini memang sama-sama sulit. Namun setidaknya, di US suamiku punya pekerjaan yang sangat ia senangi dan gajinya Alhamdulillah.
Aku belum melihat adanya kemungkinan untuk pulang ke Indonesia. Setidaknya, sampai pemimpin pemerintahan di US dan Indonesia berganti.
Semoga teteh dan keluarga dilindungi dan aman selalu ya kondisinya
BalasHapus