Ilma Hidayati Purnomo

Orang Tidak Asing yang Asing

Siang ini saya sedang jalan di dekat store sekitar tiga blok dari apartemen. Saya lihat ada stand yang menawarkan free phone dan free tablet.

Seorang laki-laki usia 35-an setinggi 170 cm berjaket parka coklat muda mendekati saya sambil menawarkan HP gratis. Saya hampir berniat bilang "no english" untuk menghindari percakapan tidak perlu dengan orang asing. Namun, tiba-tiba pertanyaanya menggelitik keingintahuan saya. 

"Where do you come from?"
"Indonesia," jawabku singkat sambil berusaha berlalu pergi. 

Tau-tau dia berbicara dalam Bahasa Indonesia bahwa dia pernah tinggal di Indonesia selama 11 tahun. Saya melongo. 

Orang di depan saya ini jelas bukan orang Indonesia. Perawakannya sekilas mirip orang India atau Asia selatan lainnya. Namun, kefasihannya berbahasa Indonesia setara dengan saya. 

Saya menggali lebih jauh tentangnya. Namanya Ahmed. Aslinya Afganistan. Datang ke Indonesia saat ia berusia 23 tahun. Ia bekerja dengan orang Amerika Serikat. 

Lalu, sambil bekerja, ia diminta menunggu di Indonesia untuk membuat "visa" Amerika. 11 tahun ia menuggu dokumen itu diselesaikan.

Selama di Indonesia, ia sudah pernah ke Jakarta, Padang, Pekanbaru, Bali, dst. Dia bilang, dia baru sampai di Amerika bulan Desember lalu dan saya adalah orang Indonesia pertama yang ia temui di sini. 

Dia juga bertanya soal komunitas orang Indonesia di sini karena dia rindu bertemu orang Indonesia. Wah, segitunya, ya. 

Saya akhirnya bertanya, jadi dia masih warga negara Afganistan? Dia bilang, dia sekarang warga negara Amerika. Jadi selama 11 tahun di Indonesia, dia sedang mengurus dokumen untuk jadi warga negara sini. 

Hmm, ini too good to be true tidak, ya? Saya khawatir, saya bertemu orang yang tidak baik. Katakanlah, teroris atau kartel narkoba yang bisa ganti indentitas dengan mudah. Sepertinya saya kebanyakan nonton film dan overthinking.

Kalau menurut teman-teman, apakah orang ini punya itikad baik? Soalnya, saya sudah memberikan nomor telpon saya kepadanya 😅

Bahkan, saking overthinking-nya, saya sampai mengirim tulisan ini ke grup Writing Club khusus orang Indonesia di Amerika. Saya bahkan coba Googling cara dapatin data yang terhubung ke nomor HP!

Syukurnya, nomor HP saya tidak bisa dilacak data kepemilikannya mungkin karena nomor baru. Saya coba cek nomor HP suami atau orang lain yang saya kenal, bisa dilacak.

-------------

Agak sorean, akhirnya saya menelpon Pak Joko yang udah puluhan tahun tinggal di Chicago. Pak Joko sempat ketawa waktu saya bilang soal overthinking saya itu. 

Beliau tanya, dulu dia ke Indonesia dalam rangka apa? Biasanya kalau dari Afganistan itu kan refugee. Nanti yang ngurus refugee itu kerja sama sama UN. Nah, UN ini yang ngurusin semacam penempatan orang-orang ini ke mana (bisa ke Eropa atau Amerika) dan bantu cariin pekerjaan. 

Nah, ini pun ada seleksinya kayak berkelakuan baik, tingkat pendidikan, dst. Biasanya yang dikirim ke Amerika ini yang bagus kualitas orangnya.

Pak Joko juga kasih contoh di tempat kerja yang lama, pabrik buat spare part di Wisconsin, ada 200 refugee dari Afganistan yang berpendidikan. Namun umumnya, kalau refugee dari Afganistan singgahnya di India dulu, bukan Indonesia. Makanya, untuk kasus orang yang saya temui tadi bisa jadi refugee, bisa jadi orang yang dapet sponsor dari orang Amerika untuk jadi citizen

Saran dari Pak Joko, diajak ngobrol aja soal gimana dulu bisa sampai di Indonesia dan proses sampai ke sininya. Gaulnya sama siapa di Indonesia. Bisa dilihat juga dari agamanya gimana. Kalau merasa nyaman, ya boleh diajak ke acara pengajian di Chicago.

Syukurlah kalau ternyata bukan aneh-aneh... 
Ilma Purnomo (Mama Razin)
Perempuan Indonesia yang saat ini tinggal di Chicago, USA, menemani suami kuliah doktoral. Seorang ibu rumah tangga yang disibukkan oleh dua putranya (Razin dan Zayn). Suka menulis dan belajar hal baru.

Related Posts

Posting Komentar