Ilma Hidayati Purnomo

Memori yang Terpencar

Ah, sial. Sudah jam sepuluh malam. Buru-buru kumatikan laptop dan kutelpon asistenku.
"Mary, kamu masih di lab?" tanyaku sambil setengah berlari keluar ruangan.
"Masih, Prof. Ada apa?" balasnya di ujung telpon.
"Kita ke ruangan mesin memori sekarang."
"Baik, Prof."

Aku dan Mary sampai di ruangan yang dimaksud. Kamu bergegas menuju ruang kontrol.
"Ada apa, sih, Prof? Tiba-tiba mau pakai mesin ini? Siapa yang mau kita interogasi?" tanya Mary penasaran.
"Aku mau mengumpulkan memoriku. Kamu yang cari segmentasi peristiwanya berdasarkan deskripsi dan tanggal yang aku tulis di sini," perintahku.
"Aku lupa, hari ini deadline Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog. Aku harus buat blogpost tentang hal berkesan di masa kecil. Kamu tahu sendiri kan kalau memori di otakku terpotong-potong sehingga sulit mencari satu kejadian di masa lalu yang runut dan utuh? Makanya aku perlu pakai mesin ini," jelasku panjang lebar sambil mencari posisi nyaman di tempat duduk di dalam kapsul. Aku segera memasangkan helm yang terhubung dengan sejumlah kabel ke kepalaku.
"Baik, Prof. Saya pasangkan masker oksigen dulu dan sabuk pengaman," balasnya.

Begitu Mary menyalakan mesin itu, otakku akan dipaksa mencari direktori memori tertentu. Aku akan merasa mengalami memori itu sekali lagi secara nyata dan real time. Sedangkan asistenku bisa melihat citra dari memori itu di sebuah layar.

Kepulan Asap di Rumah

Aku kembali ke masa ketika aku duduk di kelas 2 SMP. Suatu siang, aku pulang ke rumah. Semua tampak normal dari luar. Namun, ketika Mamaku membukakan pintu, aku terkejut dengan kepulan asap di dalamnya. Ditambah lagi, Mama dan Adikku sedang terbatuk-batuk dan mata mereka memerah.

"Ini kenapa, Mah?" tanyaku panik.
Anehnya, mereka malah menahan tawa.
"Adik kamu nih pelakunya!" Mama justru memasang wajah jahil.
"Tadi, Mama kan mau bakar sampah di lahan kosong belakang rumah. Adik kamu masukin semua kertas ke dalam dus. Udah gitu ditambah sama minyak tanah. Pas dikasih api, apinya gede banget. Langsung dibanjur air. Asapnya hitam membumbung ke atas. Orang-orang sampai pada berhenti di depan rumah. Mang Lukman sampai gedor-gedor pager. Mereka kira rumah kita kebakaran. Haha," tawa Mama pecah juga setelah menjelaskan semuanya.

Aku yang awalnya terkejut ikut tertawa terbahak-bahak sampai sakit perut dan menangis. Betul saja. Rumah kami waktu itu cukup kecil. Luas tanahnya saja hanya 108 meter persegi dan hampir semuanya adalah gedung. Lahan kosong pun tidak ditumbuhi tanaman. Di bagian belakang rumah, ada area kosong yang bagian atapnya hanya ditutup oleh atap plastik/fiber yang bisa dibuka. Area kosong itu biasanya jadi tempat Mama mencuci baju karena ada keran dan sumur.
Memori Masa Kecil
Aku masih ingat denah rumah masa kecilku yang terakhir aku tinggali tahun 2010. Mamah lulusan Arsitek dimohon tidak protes terhadap gambar ini 🙏

Ketahuan Cinta-Cintaan

Waktu itu aku masih kelas 2 SD. Aku dan teman sekolahku pergi menuju masjid dekat rumah untuk shalat tarawih. Kami akan mendengarkan khutbah, mencatat di buku, lalu berebut meminta tanda tangan ustadz. 

Saat itu aku duduk di dekat perbatasan dengan jamaah laki-laki yang hanya dibatasi oleh jendela. Baik perempuan maupun laki-laki bisa saling melihat. Kala itu aku memang sedang bengong, melihat ke arah jamaah laki-laki. Tiba-tiba ada sekelompok anak laki-laki yang mengejek ke arahku. Cie cie gitu. 

Teman-teman perempuan di sebelahku mengira aku lagi mengamati salah satu di antara mereka dan ikut mengejekku. Aku yang merasa "sok" dewasa pun pura-pura tersipu malu. Karena merasa ingin seperti anak remaja, aku ikut-ikutan menulis namaku dan nama salah seorang anak laki-laki di antara mereka yanh aku tahu dan tengah-tengahnya diberi ❤️. Semua itu aku tulis di halaman belakang buku tulisku. 

Suatu hari, Mama lagi buka-buka buku tulis dan melihat tulisan itu. Beliau langsung lapor ke Papaku sambil bilang, "Nih Ilma udah cinta-cintaan"

Karena saking malunya (dan sebenernya belum ngerti banget maksud cinta-cintaan itu gimana), sejak saat itu aku tidak pernah berani menceritakan kepada orang tua kalau ada laki-laki yang aku sukai. 

----------
"Prof! Profesor Ilma! Ilma!"
Sayup-sayup aku dengar teriakan Mary. 
"Syukurlah Anda akhirnya membuka mata juga. Saya hampir memanggil ambulans!" Mary tampak panik meskipun kini ia terlihat cukup lega. 
"Memangnya tadi aku kenapa?" tanyaku. 
"Anda batuk-batuk, denyut jantung meningkat, dan sempat hilang kesadaran. Saya langsung menghentikan mesinnya."
"Eh, sekarang jam berapa? Aku belum setoran tulisan!" pekikku. 
"Ya ampun, Prof! Hampir aja mati, masih mikirin tulisan," ucap Mary sambil menepuk jidat. 




Ilma Purnomo (Mama Razin)
Perempuan Indonesia yang saat ini tinggal di Chicago, USA, menemani suami kuliah doktoral. Seorang ibu rumah tangga yang disibukkan oleh dua putranya (Razin dan Zayn). Suka menulis dan belajar hal baru.

Related Posts

8 komentar

  1. Seru banget mbaca tulisannya Prof. Ilma. 👍🏻
    Kapan-kapan, pakai mesin memori lagi dan ceritakan memori lainnya ya, Prof. 😉

    BalasHapus
  2. Sebenarnya aku sama kaya Prof Ilma, ingat memori sepotong-potong. terbukti hari-hari terakhir hingga sekarang baru keingetan memori masa kecil dan remaja

    BalasHapus
  3. Hahaha. Si prof inget masa cinta2an di usia SD langsung detak jantung meningkat? 😁

    BalasHapus
  4. Ha3 .... Keren ih imajinasi teh Ilma.
    Eh ... Prof. Ilma ....

    BalasHapus
  5. Hahaha bisa aja nih naik mesin waktu buat menulis tantangan ngeblog. Penasaran apakah mesin waktunya bisa ke masa depan, hehehe...

    BalasHapus
  6. Ada aja idenya Prof Ilma ini. Ayo masuk lagi mesin waktu, setting ke zaman SMP....hihi

    BalasHapus
  7. Keren nih ide mesin waktunya Ilma. Cuma aku memang gatal ingin mindahin posisi kamar mandi ke dekat taman setelah lihat denah rumahnya. Enak banget tu, depannya lebar banget. Pasti pencahayaan dan sirkulasi udaranya bagus.

    BalasHapus
  8. Ehehehe kreatif sekali ide tulisannya, Teh Ilma. Ala ala "Black Mirror" yang di-mix dengan "Ada Apa dengan Cinta (eh Ilma)" ehehe.

    BalasHapus

Posting Komentar