Ilma Hidayati Purnomo

Tips Toilet Training dari Pengalaman Dua Anak yang Berbeda

Minggu ini rasanya badanku remuk. Tiap hari aku harus menulis untuk setoran One Day One Post (ODOP) dan juga mencuci celana basah. Belum lagi kalau anakku BAB di celana. Satu kamar mandi harus aku bersihkan semua karena kadang berceceran di mana-mana. Hingga akhirnya, aku mencoba mengingat ke masa lalu, ketika aku melakukan toilet training anak pertama, dan mengikuti saran suami. Akhirnya, aku bisa merumuskan tips mudah toilet training dari pengalaman dua anak.
Anak keduaku kini berusia 2,5 tahun. Sudah beberapa kali aku mencoba melakukan toilet training dan entah mengapa, selalu berakhir gagal hingga aku pun menyerah. Baru-baru ini, supermarket yang menjual barang kebutuhan sehari-hari dengan harga miring, tutup. Alhasil, aku berkata kepada suamiku, "Walmart tutup. Anak kita gak usah pakai diaper lagi. Mahal!"

Satu box pospak di Walmart untuk ukuran 6 berisi 80 pcs berharga $17 (setara Rp 250.000), biasanya habis dalam waktu tiga minggu. Sedangkan apabila aku beli di supermarket lainnya, yang menjual dengan harga lebih mahal, bisa-bisa satu bulan aku menghabiskan $30 (hampir Rp 450.000) untuk menampung pipis dan poop anakku saja! Mending juga aku belikan pizza dua loyang atau nasi goreng 3 porsi.

Demikianlah alasannya kenapa aku ngotot anakku harus melakukan toilet training sekarang, kira-kira sejak 5 hari yang lalu. Kalau dibilang tanpa persiapan, sebetulnya tidak juga. Kan aku sudah pernah mencoba beberapa kali. Anakku pun sering diajak kakaknya untuk pipis di toilet. Jadi, sebetulnya dia sudah kenal dengan konsep "pipis atau poop di toilet." Hanya saja, butuh ketegasan, konsistensi, dan kesabaran dari seluruh anggota keluarga di rumah.

Hal ini memang terasa berbeda dengan toilet training yang aku lakukan kepada kakaknya dulu. Karena baru anak pertama, aku bahkan sudah mengajak anak ke toilet sejak bayi, yaitu ketika usianya masih 7 bulan. Saat itu, Razin bahkan kadang belum bisa duduk tegak. Namun, aku yakin, dengan melakukan tatur (atau istilah kerennya Elimination Communication), anak bukan cuma mengerti konsep "tempat yang benar untuk buang hajat" tapi juga membangun komunikasi yang lebih aktif antara ibu dan anak.

Tatur itu sebuah seni mengenali tanda-tanda anak ingin buang hajat. Beberapa tandanya adalah anak tampak gelisah, berhenti bermain, mendadak menatap satu titik, kadang badannya bergoyang, mencari orang tua, kadang berusaha mengeluarkan suara tertentu, hingga tampak mengejan. Ya, bayi itu berusaha mengomunikasikan keinginannya untuk buang hajat kepada caregiver-nya! Tentu bayi akan merasa diapresiasi ketika orang di sekitarnya mengerti akan keinginannya.

Nah, apakah dulu aku selalu konsisten melakukan tatur kepada anak pertamaku? Tidak juga. Masalahnya, dulu tempat tinggalku berpindah-pindah. Mulai dari rumah orang tua, rumah mertua, hingga akhirnya pindah ke luar negeri. Kami mulai serius melakukan toilet training ketika Razin hampir berusia 2 tahun. Alasannya, karena sebentar lagi adiknya akan lahir dan kami mungkin terlalu sibuk untuk melakukan toilet training.

Razin akhirnya memang sempat bisa mengomunikasikan keinginannya untuk pipis dan poop di usia dua tahunan, apalagi dia memang sudah bisa berbicara sejak berusia 16 bulan. Namun, dengan perubahan besar dalam hidupnya (kelahiran adiknya), ia mengalami kemunduran. Mulai pipis dan poop di celana, selain sering melakukan tantrum karena merasa kurang diperhatikan. Kami harus mengulang lagi mengajarkan toilet training dari awal. Bersyukurnya, ia bisa lulus toilet training sebelum usia 2,5 tahun.

Sebetulnya, waktu itu aku "agak" berikrar. Kayaknya, kalau aku punya anak lagi, mendingan anakku nanti diajarin lepas popok sebelum usia dua tahun. Soalnya, anak usia dua tahun itu udah mulai suka tantrum dan punya keinginan sendiri. Nyatanya, aku gak bisa melakukan itu ke anak kedua karena ia belum bisa bicara hingga ia berusia dua tahun sebulan.

Kini, di usia anak keduaku yang sekarang dua tahun tujuh bulan, aku rasa toilet training ini sudah tidak bisa ditunda lagi. Aku melihat anakku sering protes hanya karena popoknya basah sedikit. Lagipula, dia sudah bisa berkomunikasi layaknya kakaknya saat ini.

Berdasarkan pengalaman kami melakukan toilet training terhadap Razin dan adiknya yang saat ini sedang berlangsung, aku rasa tips toilet training ini layak untuk dicoba.

1. Membiasakan Tatur/Elimination Communication Sebelum Anak Bisa Jalan

Aku merasa pembiasaan anak untuk duduk di toilet sejak dini (sejak punggung anak cukup kuat dalam posisi duduk), bermanfaat memepercepat proses toilet training. Anak mulai terbiasa mengenali tanda-tanda akan pipis atau poop sejak dini dan berusaha mengomunikasikannya kepada orang tua. Hal ini juga membangun kedekatan yang lebih baik antara anak dengan orang tua.

Bagaimana cara tatur yang baik? Pertama, ketika anak bangun pagi, langsung diajak dan didudukkan di toilet. Pegangi dengan erat dan buat posisi duduk yang nyaman bagi anak. Kedua, puji ketika ia bisa pipis atau poop di toilet. Terakhir, kenala tanda-tanda ketika anak ingin buang hajat dan segera bawa ke toilet.

Apakah anak harus selalu menggunakan celana atau boleh pospak? Bebas, yang penting mudah dibuka ketika kita akan membawa anak ke toilet. Lalu, apakah toilet harus dilengkapi dengan potty seat? Bebas juga. Yang penting kita bisa menjaga anak supaya tidak terpeleset. Dulu, aku belum beli potty seat ketika usia Razin 7 bulan. Aku duduk bersama Razin di atas toilet. Aku hanya perlu memosisikan pantatnya berada di lubang toilet duduk.

2. Melakukan Sounding yang Sewajarnya

Aku percaya dengan kekuatan sounding bisa membantu anak lebih siap. Namun, aku merasa tidak perlu membeli buku khusus, menunjukkan video khusus, atau bahkan mengikuti training khusus yang berbayar hanya untuk melatih anak pipis dan poop di toilet. Kita cukup menunjukkan apa yang wajar kita lakukan sehari-hari.

Kita bisa minta izin kepada anak ketika kita sedang bermain lalu kita perlu ke toilet untuk pipis. Kita juga bisa menceritakan tentang pipis yang keluar dari alat kelaminnya ketika ia mandi. Kita juga bisa menunjukkan kalau popoknya kotor terkena pipis dan poop. Cukup logis dan sederhana, bukan?

3. Mengajak Seluruh Anggota Keluarga untuk Membantu Anak Toilet Training

Seperti yang aku ceritakan di atas, kami sering meminta Razin mengajak adiknya untuk pipis di toilet. Kami minta Razin meletakkan potty seat di toilet, menyiapkan air untuk cebok, hingga membantu adiknya melepas dan memasang celana. Dengan melakukan hal ini, kami percaya bahwa tugas mendidik anak untuk toilet training itu tanggung jawab seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah. Anak yang sedang belajar toilet training pun akan merasa lebih bersemangat karena didukung banyak orang.

4. Memasang Alarm

Sekarang saatnya membahas hal teknis. Aku menerapkan kewajiban bagi anakku untuk pipis setiap jam. Awalnya, aku mengingatkan dia secara langsung. Ternyata, lama-lama dia menolak ketika aku ajak. Suamiku pun memberi saran untuk membuat alarm di HP setiap jam. Jadi, anakku harus tunduk kepada alarm yang menyuruhkan pergi ke toilet.

Hal ini berhasil, lho! Anakku pergi ke toilet dengan ikhlas ketika alarm berbunyi. Ketimbang harus berdebat denganku yang menyuruhnya pergi ke toilet.

5. Melepas Celana Seharian

Last, but not least, ini cara terakhir kami ketika anak masih saja ngompol di mana-mana. Anak kami akan kehilangan haknya menggunakan celana kalau ia masih membuat basah celananya. Harapannya, dengan ia tidak menggunakan celana, ia akan melihat sendiri bagaimana pipis keluar dari alat kelaminnya. Lama-lama ia akan mengenali tanda-tanda ketika pipis akan keluar. Lagipula, lebih mudah untuk memintanya pipis di toilet ketika ia tidak menggunakan celana.

Jadi kami terapkan seperti ini: pagi hari anakku dipasangkan celana. Ketika ia membuat celananya basah, ia tidak pakai celana. Ia mungkin akan telanjang hampir setengah hari. Besoknya, ia akan berpikir bagaimana caranya supaya tidak mengompol di celana. Mungkin ia akan membuat celananya basah di sore hari. Besoknya lagi mungkin di malam hari. Seterusnya sehingga ia tidak lagi pipis di celana.

Lima tips di atas mungkin bisa dipertimbangkan orang tua yang ingin memulai toilet training anaknya. Saat ini, kami masih punya PR, anakku masih mengompol saat tidur di malam hari padahal setiap mau tidur, pasti diajak ke toilet dulu. Mungkin karena cuacanya masih dingin. Kami pun masih memakaikan diaper ketika ia tidur. Jadi, meskipun di pagi hari kami selalu mengajaknya pipis, popoknya pasti sudah basah terlebih dahulu.

Apakah teman-teman punya tips untuk mengatasi anak ngompol di malam hari tanpa membangunkannya ketika ia masih mengantuk? Aku yakin, akan sulit sekali mengajak anak ke toilet dalam keadaan seperti itu. Anak justru akan tantrum. Yuk, berbagi tips lainnya di kolom komentar!
Ilma Purnomo (Mama Razin)
Perempuan Indonesia yang saat ini tinggal di Chicago, USA, menemani suami kuliah doktoral. Seorang ibu rumah tangga yang disibukkan oleh dua putranya (Razin dan Zayn). Suka menulis dan belajar hal baru.

Related Posts

Posting Komentar