Ilma Hidayati Purnomo

Perjalanan Penuh Kejutan ke Playground Terbaik di Chicago

Hari Minggu tanggal 2 Oktober kemarin aku memutuskan untuk pergi ke tempat yang sudah lama disinggung suami dan pernah aku rencanakan untuk kunjungi. Tempat ini bagai sebuah surga bagi anak-anak di jantung kota (downtown Chicago). Dengan perencanaan yang tidak begitu matang, akhirnya kami meninggalkan apartemen pada waktu asar. Tanpa diduga, perjalanan ini dihiasi dengan banyak tantangan dan kejutan!

Playground Terbaik di Chicago

Kalau kita search dengan keyword itu, akan muncul sejumlah artikel yang menyebutkan Maggi Daley Park sebagai salah satu palyground di list mereka. Apalagi kalau mengacu kepada Google Maps, tempat ini mendapat 8200 review dan rating 4,7. Bertempat di sebelah monumen paling terkenal di Chicago, The Bean (Cloud Gate, yang berlokasi di Millenium Park), taman ini seolah menjadi bagian dari kompleks daya tarik turis.

Menurut beberapa artikel dan gambar di Google Maps, tempat ini menyediakan banyak area permainan. Tentu tak ketinggalan, sejumlah perosotan menghiasi taman ini. Aku menjadi semakin bersemangat untuk mengunjunginya karena aku yakin anak-anakku, dua balita laki-laki aktif yang hobi memanjat, pasti akan menyukainya.

Jadwal Bus yang Kacau

Rasa penasaranku membawaku dan kedua anakku (beserta satu stroller) memulai petualangan pada jam 4.15 sore. Kami jalan sejauh 300 m (sekitar dua blok) ke halte bus nomor 4 di Jalan E 61st St. dan S Cottage Grove Ave.

Kami menunggu sekitar tujuh menit hingga mulai ikut merasa kesal melihat calon penumpang lain yang tampak tak sabar. Pasalnya, mereka mondar-mandir jalan sampai ke tengah jalan raya demi melihat hidung bus yang tak juga nampak. Aku mengecek Google Maps dan mendapati jadwal bus selanjutnya harusnya datang dalam satu menit. Namun, tak ada bus yang datang hingga bermenit-menit berlalu.

Kuputuskan membuka aplikasi bus tracker bernama TransLoc. Aplikasi ini menampilkan jalur bus setiap trayek dan posisi bus secara real time. Betapa terkejutnya aku ketika aku mengeklik posisi halte bus tempatku menunggu dan mendapati bus selanjutnya akan datang dalam 42 menit lagi! Sungguh, aku tidak lagi percaya dengan fitur bus tracker di Google Maps. Meskipun begitu, aku tetap membutuhkannya untuk mencari opsi public transport lainnya.

Kereta yang Tak Beroperasi

Selain menggunakan bus, Maggie Daley Park juga bisa dicapai dengan menggunakan subway (kereta dalam kota) bernama Green Line. Sesuai namanya, trayek ini memang menggunakan kode warna hijau jika kita lihat peta public transport di Chicago. Beruntung, salah satu stasiun trayek Green Line hanya berjarak 450 m (sekitar dua blok). Aku menggiring anak-anakku jalan ke sana.

Stasiun Green Line ini kira-kira setinggi gedung dua lantai dan posisinya melintang di atas jalan raya (kurang lebih seperti jembatan penyebrangan di Indonesia). Untuk naik ke atas, tentu aku tidak sanggup menggunakan tangga. Jadi, aku melewatkan tangga sambil berjalan menuju lift. Konyolnya, aku juga melewatkan papan pengumuman besar yang terpajang di anak tangga paling bawah.

Dengan santai, aku menyuruh anak-anak naik lift. Setibanya kami di platform, aku mendapati papan pengumuman serupa. Rupanya, trayek Green Line menuju stasiun Cottage Grove (stasiun tempat aku berencana naik subway) tidak beroperasi karena adanya renovasi. Beruntung ada staf yang berjaga dan memberitahuku bahwa ada shuttle bus yang akan membawaku ke stasiun Green Line terdekat.

Shuttle Bus Gratis Saat Kereta Tidak Beroperasi
Di atas bus itulah rel kereta subway

Kami turun ke jalan dan memasuki shuttle bus. Bus ini disediakan secara gratis bagi para calon penumpang kereta Green Line dari Cottage Grove. Saat kami masuk ke dalam bus, ternyata sudah ada beberapa penumpang yang menanti. Bus yang kami naiki berangkat pukul 4.55. Yak, perjuangan mencari moda transportasi yang benar membutuhkan waktu 40 menit.

Kehabisan Saldo Kartu Transportasi

Kami diturukan di Stasiun Garfield, sekitar delapan blok dari stasiun sebelumnya. Memasuki stasiun, aku menempelkan kartu Ventra (kartu yang digunakan untuk membayar biaya transportasi umum di kota Chicago) ke alat pembaca kartu. Kami pun naik ke platform. Sembari menunggu datangnya kereta, aku mencoba mengecek Google Maps di tengah koneksi internet yang tidak stabil. Tiba-tiba saja aku menerima email di akun suamiku bahwa proses autoload ke kartu Ventra sudah dibatalkan.

Biasanya, kartu Ventra milik suamiku ini akan terisi secara otomatis ketika mencapai batas minimal tertentu. Namun, kali ini tidak bisa dan aku sudah telanjur menunggu di platform. Aku menjadi was-was, bagaimana caraku pulang nanti? Apakah ini pertanda sesungguhnya perjalanan ini tak baik untukku?

Sejenak berpikir, aku mencoba menenangkan diri. Tak apa, nanti aku coba isi ulang di mesin yang biasanya tersedia di stasiun karena aku juga bawa kartu kredit. Dibanding hal ini, aku lebih was-was karena menunggu kereta yang tak kunjung tiba. Pasalnya, platform ini terbilang tidak aman. Tidak ada pagar pembatas antara area menunggu dan rel kereta. Orang tua yang bawa dua balita (yang mana aku cuma sendirian) pasti paham perasaan ini.

Sekitar 15 menit kami menunggu, kereta akhirnya datang. Rupanya, kereta ini juga mengalami perubahan rute. Biasanya kereta ini akan berhenti setiap empat blok. Namun kali ini, kereta ini akan melaju secara express tidak berhenti hingga 20 blok ke depan. Benar-benar, satu perjalanan singkat dengan banyak hal tidak terduga!

Car (satu gerbong kereta) yang kami tumpangi mendadak jadi penuh dengan segerombolan mahasiswa The University of Chicago. Hal ini membuatku lebih merasa aman karena ada banyak orang. Biasanya kereta ini cenderung sepi bahkan diisi penumpang dengan penampilan yang membuatku merinding (dengan pakaian compang-camping dan tampak agak lusuh, misalnya). Jujur, aku masih takut bepergian sendirian di negri orang kalau berdampingan dengan orang yang berpenampilan seperti itu.

Selama perjalanan, sebenarnya pikiranku disibukkan dengan pertanyaan 'Aku harus turun di stasiun mana?' Pasalnya, aku tidak punya SIM Card US (mungkin lain waktu aku akan cerita alasannya). Alhasil, smartphone-ku tidak terkoneksi ke internet kecuali di area kampus, tempat umum yang menyediakan wifi gratis, atau terhubung ke penyedia wifi tempatku berlangganan modem di apartemen. Salahku yang hanya mengecek tempat turun dari bus, padahal aku berganti rencana.

Kereta Subway Chicago
Akhirnya, aku putuskan melihat posisi stasiun di peta Google yang sudah diunduh sambil memperhatikan peta perjalanan kereta subway yang terpampang di dinding kereta. Setelah memikirkan berbagai pertimbangan, aku memilih turun di stasiun Washington/Wabash. Rasanya lega sekali bisa sampai ke downtown Chicago dengan segala tantangan yang kami lewati.

Sulit Mencari Toilet

Suhu udara yang dingin (selalu di bawah 20°C) sukses membuatku jadi orang yang hobi ke toilet. Biasanya, kalau lagi di derah Hyde Park, aku cukup masuk ke toko retailer manapun dan numpang pipis. Sayangnya, aku sudah coba masuk ke Walgreens (toko retailer obat) dekat stasiun, ternyata tidak ada toilet. Aku malah disarankan pergi ke taman di seberang jalan. Ya sudah, aku putuskan jalan ke Maggie Daley Park saja.

Kami berjalan sekitar 500 m hingga sampailah kami di area taman pada pukul 6.05 sore, tinggal tersisa 30 menit lagi sebelum matahari terbenam wkwk. Saat aku berniat mendokumentasikan perjalanan kami, ternyata baterai smartphone-ku tinggal 14%. Mungkin baterainya nge-drop karena aku paksa mencari sinyal wifi terus-menerus. Nah lho, nanti pulangnya gimana kalau sampai mati? (:

Keseruan di Maggie Daley Park

Saat memasuki area taman, kami disuguhkan dengan area lapangan rumput yang luas dan area panjat tebing. Di sampingnya, terdapat pula area bermain skateboard. Tempat ini benar-benar memfasilitasi kegiatan bermain anak di luar ruangan untuk segala usia. Juga yang paling penting, gratis tiket masuk!

Selama berjalan menyusuri jalur pejalan kaki menuju area bermain anak-anak, aku dibuat terheran-heran dengan luasnya taman ini yang ternyata mencapai 8 hektar. Lapangan rumput yang tersebar di berbagai penjuru di area taman ini pun luas dan tidak datar, bahkan ada yang serupa bukit berumput di serial Teletubbies.

Ketika kami sampai di arena bermain anak-anak, aku benar-benar merasa takjub dengan tata letak dan variasi area bermain di sini. Jika biasanya di taman lainnya hanya ada satu area taman bermain dengan beberapa jenis wahana, di sini ada beberapa area bermain dengan konsep yang unik.

Area pertama yang kami kunjungi bernama The Harbor. Menurut papan informasi, tempat ini cocok bagi anak usia 2-5 tahun. Rupanya, di sini terdapat dermaga kecil terbuat dari kayu. Anak-anak diajak berimajinasi seolah-olah sedang berada di dermaga dan sedang berlayar menggunakan perahu kecil.

Area selanjutnya adalah The Sea. Area ini cocok untuk anak usia 5-12 tahun. Meskipun begitu, nyatanya Zayn yang baru berusia dua tahun saja sangat menikmati area bermain ini. Pasalnya, lantai yang dibuat berombak seperti ombak lautan sukses membantu menyalurkan hasratnya untuk memanjat dan meluncur. Lucunya, kalau Zayn tidak berhasil memanjat lantai berombak dengan kemiringan yang tajam, ia akan berteriak 'Help!'

Di tempat ini terdapat replika kapal lengkap dengan stir kapal dan barrel. Anak-anak bersemangat memanjat tangga di dalam kapal, keluar masuk kapal, bahkan memanjat lantai berombak. Di area lain yang tersambung dengan area ini juga terdapat patung paus dan mercusuar dengan perosotan. 

Keluar dari area ini, kami melihat ada dua area ayunan yang terpisah. Kami memilih menuju area Wave Lawn yang sepertinya menjadi landmark dari taman ini. Pasalnya, di sini terdapat jembatan kayu yang besar dan dilengkapi dengan dua menara kayu yang tinggi.

Di area ini terdapat sejumlah perosotan yang lumayan tinggi. Meskipun begitu, Zayn tetap menikmati kegiatan memanjat dan menuruni perosotan. Aku pribadi tidak terlalu khawatir kalau ia jatuh, karena lantainya berbahan empuk.

Sebetulnya ada satu wahana perosotan paling tinggi di sini. Mungkin tingginya sekitar 8 meter tapi sayangnya sudah ditutup sejak jam 6 sore. Kami menghabiskan waktu di sini hingga gelap lebih tepatnya sampai hampir sepi. Wajar saja, sudah jam 7.05.

Perjalanan Pulang yang Menegangkan

Tanpa koneksi internet, aku masih optimis bisa menemukan bus untuk pulang. Sembari menghadapi anak-anak yang mulai rewel karena lelah (beruntungnya aku bawa stroller, jadi Zayn bisa duduk manis dan cukup tenang), aku mulai menyusun rencana. Setidaknya menemukan halte bus terdekat dulu.

Setelah berjalan 100 m, memang ada halte bus nomor 4 di samping gedung. Namun, tempat itu termasuk remang-remang dan jarang dilewati orang. Aku memutuskan melanjutkan perjalanan ke CVS (toko retail obat-obatan) terdekat demi mencari toilet untuk menuntaskan urusan yang belum selesai. Sayangnya, di sana pun tidak terdapat kamar kecil.

Berjalan keluar dari toko itu, aku melihat ada bus yang sedang ngetem. Buru-buru aku hampiri bus itu. Anehnya, bus itu tampak sepi bahkan tak terlihat ada supirnya. Baru kutemukan supirnya yang ternyata sedang tidur di salah satu kursi penumpang. Aku coba ketuk jendelanya untuk bertanya, tapi ia tidak merespon. Saat aku melihat ke papan sekitar, ternyata itu adalah area layover untuk bis nomor 6.

Ya sudah, kami kembali berjalan kaki sejauh 300 m dan menemukan halte bus lainnya. Alhamdulillah, tempat ini cukup terang, di samping sungai Chicago, dilewati banyak orang, di pinggir jalan besar, dan ada penumpang lain yang sedang menunggu. Aku merasa cukup aman di sini. Ditambah, halte bus ini menjadi tempat persinggahan bus 4 dan 6 yang sama-sama bisa membawaku pulang. Setidaknya aku punya dua pilihan.

Mengingat perjalanan sebelumnya ke Shedd Aquarium ketika kami di-PHP oleh bus nomor 6, aku tidak berharap banyak busnya akan datang dengan cepat. Asalkan aku bisa dapat bus untuk pulang saja aku sudah bersyukur. Ternyata, tidak sampai 5 menit, datanglah bus 6. Ya, itulah bus yang tadi sempat ngetem dan supirnya tertidur di dalamnya.

Menyenangkan sekali bisa menjadi penumpang pertama di dalam bus yang biasanya selalu penuh berdesakan. Ketika kami masuk ke dalam bus dan aku mau nge-tap kartu Ventra, kulihat tulisan 'Not in use' di alat pembaca kartu. Saat aku menempelkan kartu, tidak ada pemberitahuan bahwa kartuku terdeteksi, Namun, supir itu menyuruhku duduk saja. Wah, aku dapat kesempatan naik bus gratis!

Beberapa penumpang setelahku diberi tahu si supir bahwa alat itu tidak berfungsi sehingga mereka bisa langsung duduk di dalam bus tanpa membayar. Beneran rezeki, nih, mungkin untuk menggantikan kekesalanku ketika pulang dari Shedd Aquarium. Sudah harus meunggu lama, bus yang datang selalu penuh. Ini bagaikan balas dendam: jadi penumpang pertama bahkan naik bus gratis (harusnya bayar $2.5 ~ Rp 38.000).

Anehnya, sekitar 10 menit kemudian, aku lihat alat pembaca kartu Ventra itu berfungsi kembali lho. Buktinya orang-orang bisa menempelkan kartu dan aku bisa melihat layar di dekat supir menjadi berwarna hijau disertai tulisan 'Go' yang berarti pembayaran dari kartu sudah diterima. Fyuh, beruntung tadi alatnya tidak berfungsi, jadi tidak ketahuan kalau kartu Ventra-ku mungkin sudah kehabisan saldo.

Bius ini kian dipadati penumpang hingga berdesakan. Mau tak mau Zayn duduk di sebelahku dan stroller kulipat. Perjalanan kami memakan waktu sekitar 25 menit. Kami sampai di halte bus di jalan E 55th St dan S Hyde Park Blvd. 

Di-Prank Bus Kampus

Setelah turun bus, aku masih harus naik shuttle bus yang disediakan kampus UChicago. Aku sudah berdiri di halte yang tepat dan aku melihat ada bus kampus yang hendak menyebrangi perempatan menuju ke tempatku. Ajaibnya, bus itu tiba-tiba belok dan memotong rute. Hah? Aku yang sudah bersiap melambaikan tangan untuk menghentikan bus itu hanya bisa terbengong melihatnya berlalu.

Aku memutuskan pergi ke Trader Joes, supermarket terdekat, untuk beli roti dan numpang ke toilet. Kami pun naik bus kampus lainnya yang bisa kami berhentikan dekat supermarket tadi. Kami sampai di apartemen sekitar pukul 9.22.

Kesanku terhadap Perjalanan Ini

Meskipun perjalanan ini penuh tantangan dan kejutan, aku justru senang dan menikmatinya. Pasalnya otakku jadi disibukkan dengan membuat rencana. Aku seperti dituntut untuk berpikir terus, 'habis ini harus gimana, habis ini harus ngapain'. Ada masalah-masalah yang harus diselesaikan dengan bertahap, kepala dingin dan rileks. Aku merasa dapat kesempatan untuk membuat keputusan dan menentukan arah. 

Hey, mungkin itu yang selama ini aku butuhkan, kan? Salah satu contoh aktualisasi diri yang membuatku sadar, aku bisa melakukan ini sendiri, kok! Wah, rasanya aku seperti menemukan kembali jati diriku yang dulunya aku miliki saat masih kecil. Jati diri yang sempat terkubur karena kenakalan remaja dan pola asuh yang tidak sesuai dengan karakteristikku. Beberapa contohnya adalah dikekang, diatur, dan terlalu dilindungi. Aku bukan tipe orang yang nyaman dengan perlakuan seperti ini :)

Selama perjalanan, anak-anak pun tidak ada yang tantrum. Kami semua menikmati perjalanan dadakan ini. Betul-betul perjalanan penuh kejutan ke Maggie Daley Park, payground terbaik di Chicago!

Ilma Purnomo (Mama Razin)
Perempuan Indonesia yang saat ini tinggal di Chicago, USA, menemani suami kuliah doktoral. Seorang ibu rumah tangga yang disibukkan oleh dua putranya (Razin dan Zayn). Suka menulis dan belajar hal baru.

Related Posts

Posting Komentar