Ilma Hidayati Purnomo

When Shopaholic Meets Cheapskate

Spoiler alert!

The two met at a course during their freshman year but then they went to different majors. They kept in touch with each other through Messenger, talking about random things.

Five years later, they reunited with a wedding ring. They were married but barely knew each other. Surprisingly, the shopaholic man just married a cheapskate wife. Would they have a long lasting marriage?

Poster Film

Kalau blurb di atas jadi film/novel, kayaknya bakal seru, ya. Namun, bagaimana jika terjadi di kehidupan nyata? Ngeri-ngeri sedap. Suaminya doyan beli smartphone, laptop, kamera, dan jam tangan mewah, sedangkan istrinya pelit, koret, pedit, kumed, cap jahé méré gé hésé.

Kurang-lebih demikianlah aku menggambarkan sifatku dan suami dalam hal belanja. Suami suka belanja, meskipun tidak sampai menjadi shopaholic. Dia lebih ke arah utilitarianism. Sedangkan aku, uang yang dikasih mending ditabung aja, lah!

Urusan Belanja Bisa Jadi Konflik Keluarga

Dari 447.743 kasus perceraian yang ditangani Peradilan Agama Indonesia pada tahun 2021, sebanyak 113.343 kasus di antaranya dilatarbelakangi oleh persoalan ekonomi. Alasan ini menjadi yang terbanyak kedua setelah cekcok rumah tangga. Bayangkan saja, satu dari empat pasangan berpisah karena urusan duid.

Persoalan ekonomi di sini tidak terbatas pada kondisi ekonomi yang di bawah rata-rata, namun karena gaya hidup yang hedonis (Manna, 2021: 13). Siapa di sini yang sering geleng-geleng kepala kalau liat suami mulai beli pernak-pernik hobinya? (Aku ngacung, tapi tanganku di balik punggung)

Nah, kalau banyak pasangan yang sudah sampai di titik tidak tahan lagi hingga bercerai karena alasan keuangan, berapa banyak pasangan yang tetap bertahan meskipun sering mengalami konflik ini?

Kebiasaan dan Persetujuan

Datang dari dua keluarga dengan pola asuh yang berbeda, membuatku dan suami punya pola pikir yang bertolak belakang soal pengaturan keuangan. Keluarga suami suka melakukan investasi dalam bentuk sawah. Mereka bahkan rela berhutang untuk membelinya, dengan harapan di masa mendatang, sawah itu bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi.

Berbeda dengan keluargaku yang rajin menyisihkan uang di tabungan. Bagi orang tuaku, produk bank seperi deposito adalah investasi jangka panjang. Uang yang dibelanjakan secukupnya saja dan jangan sampai membeli apapun dengan hutang.

Ternyata, kedua pola asuh itu tidak serta merta diterima secara utuh baik olehku maupun suami. Suami memang punya keberanian lebih untuk berhutang. Salah satunya, ketika ia harus menjalani student exchange sewaktu ia kuliah. Orang tuanya tidak punya uang tunai/tabungan yang cukup untuk membiayai perjalanan ke luar negri. Alhasil, suami pun meminjam uang ke temannya dengan perhitungan yang detail, dari mana sumber pemasukannya, berapa jumlahnya, dan kapan bisa melunasi hutang. Orang tua suami tidak berpikir sedetail ini.

Contoh lainnya, bentuk investasi suami lebih beragam. Laptop seharga sekian ribu dolar, kursi kerja dengan harga di atas rata-rata, dan lain sebagainya. Memang betul sih, dengan kedua barang itu saja, suami bisa menghasilkan puluhan ribu dolar lainnya. Ini contoh sisi utilitarianism-nya. 

Ia juga selalu menekankan, seberapa worth it dan seberapa bikin bahagia barang yang dia beli. Barang yang ia beli tidak selalu berada di kelas teratas secara harga, bisa saja di kalangan menengah tetapi sesuai dengan spesifikasi yang ia inginkan. Juga, yang pasti, harus bikin dia bahagia setelah membelinya. Cirinya, dia bakal ngomongin kelebihan barang yang baru dia beli sampai seminggu ke depan!

Lalu, bagaimana denganku? Kadang aku sengaja pergi ke rumah sakit anak dekat apartemen hanya untuk mengambil segepok masker anak. Alasannya, masker kan hanya untuk sekali pakai, sedangkan anak pertamaku harus menggunakan masker selama lima hari di sekolah. Ditambah lagi, harga sepuluh masker anak di retail mencapai $7.

Lain waktu, aku sengaja datang ke HelloBaby, sebuah playground milik organisasi non-profit, hanya untuk meminta popok dan tisu basah gratis. Atau sengaja bawa plastik ziplock dan tempat makan kosong ketika ada acara makan-makan. Tentu saja, supaya aku bisa bawa pulang sisa makanan. Gimana? Apakah aku termasuk cheapskate?

Kebiasaan aku dan suami memang berbeda tetapi kami punya persetujuan batasan apa yang tidak boleh dilanggar. Aku akan merincinya dalam bentuk tips belanja dan mengelola keuangan.

Tips Belanja dan Mengelola Keuangan ala Keluarga Kami

1. Membuat rencana pengeluaran sebelum gajian

Sebelum suami mendapatkan gaji dalam jumlah besar (biasanya ketika melakukan summer internship), ia akan mengajakku melakukan brainstorming, apa saja kebutuhan pengeluaran keluarga kami. Misal, ia ingin pulang kampung, berapa biaya perjalanannya, uang yang dibawa ke Indonesia, dan sisa uang yang bisa kami sisihkan.

Hal ini juga berlaku dengan belanja bulanan. Aku harus membuat daftar bahan makanan apa saja yang mau dibeli selama sebulan ke depan beserta perkiraan harganya. Dengan begini, ketika nanti aku pergi ke supermarket untuk belanja, mataku tidak akan melirik barang diskonan yang sebetulnya tidak dibutuhkan.

2. Menghindari jebakan toko dan impulsive buying


Hampir semua supermarket yang pernah kukunjungi punya tata letak barang yang mirip. Ternyata oh ternyata, hal ini adalah bagian dari jebakan supaya pembeli membelanjakan lebih banyak uang! Setiap mata melihat barang yang tampak menarik apalagi diskon banyak, otak seperti di-trigger untuk segera menyentuh barang itu dan memasukkan ke dalam troli belanja. Inilah impulsive buying.

Hal ini yang sangat suamiku waspadai, jangan sampai istrinya terlena dengan jebakan ini. Alasannya, pengeluaran rutin seperti membeli makanan memang sewajarnya saja dan harus sehat. Untuk apa membeli makanan yang harganya mahal, padahal hanya berakhir di jamban. Juga, karena aku tidak punya asuransi kesehatan di sini, aku tidak boleh macam-macam. Makan makanan manis satu kali, bisa-bisa sakit gigi berbulan-bulan dan menghabiskan uang ratusan dolar untuk memperbaikinya.

3. Melakukan investasi yang membahagiakan

Beli sepeda Brompton termasuk investasi karena sepeda ini bisa dipakai hingga dua puluh tahun dan membantu kami tetap sehat. Kami rutin besepeda di akhir pekan selama 3 jam. Ini juga bentuk investasi kesehatan dan yang pasti, bikin bahagia! Kami jadi punya quality time dan bisa melihat berbagai pemandangan selama bersepeda. 

Bagi suami, investasi dalam bentuk deposito kurang memberi kebahagiaan karena ia hanya akan melihat investasi itu dalam bentuk angka di selembar kertas. Bagi dia, investasi juga harus dalam bentuk pengalaman menyenangkan.

Penutup

What happens when shopaholic meets cheapskate? They make deals. Urusan belanja mamak-mamak jadi tanggung jawab suami juga, makanya kami buat pesetujuan. Suami selalu tanya dulu kalau dia mau beli barang mahal. Aku pun mengikuti tips belanja yang suami minta aku lakukan. Yang penting, semua kebutuhan terpenuhi dan semua bahagia! 

Tulisan ini aku ikutkan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog.

Sumber:

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/21/kasus-perceraian-di-indonesia-masih-marak-ini-penyebabnya

https://www.researchgate.net/profile/Shinta-Doriza/publication/350412927_Cerai_Gugat_Telaah_Penyebab_Perceraian_Pada_Keluarga_di_Indonesia/links/6094a49aa6fdccaebd11ebdc/Cerai-Gugat-Telaah-Penyebab-Perceraian-Pada-Keluarga-di-Indonesia.pdf

Apresiasi yang didapat artikel ini:

Salah satu dari lima tulisan paling unik

Salah satu dari lima tulisan paling enak dibaca

Salah satu dari lima tulisan paling populer

Juara Favorit Nomor 3
Ilma Purnomo (Mama Razin)
Perempuan Indonesia yang saat ini tinggal di Chicago, USA, menemani suami kuliah doktoral. Seorang ibu rumah tangga yang disibukkan oleh dua putranya (Razin dan Zayn). Suka menulis dan belajar hal baru.

Related Posts

6 komentar

  1. Teh Ilma seru ih baca pengalaman belanjanya. Salut deh kompromi dan negosiasinya. Plus itu kudu buat daftar belanja bulanan.

    salam semangat

    BalasHapus
  2. Ini relate banget dengan aku. Biasanya malah istri yang suka mengingatkan aku... Izin aku share ke istri ya mbak...

    BalasHapus
  3. Uwow teh, opposites attract ya. Unik karena biasanya wanita yang boros. Tapi sebagai orang yang juga pernah perhitungan, ngerti juga kalau ngirit membantu pengeluaran tentunya

    BalasHapus
  4. Menarik sekali dua sejoli beda kebiasaan ini bisa langgeng dalam pernikahan. Karena apa? Karena adaptasi, kompromi dan tentu saja komunikasi yang baik. Inspirasi untuk pasangan lain.

    BalasHapus
  5. Ehehehehe saya ngakak melihat flyer-nya Teh Ilma. Kocak amat, Teh, ehehehe.

    Mamah Ilma dan Pak Suami adalah pasangan suami istri yang cukup langka ya, biasanya yang shopaholic itu sang istri.

    Ehehehe, tapi kalau membaca deskripsi Teteh mengenai gaya belanja Pak Suami yang membeli barang yang bagus sekalian untuk investasi, for the greater good lah ya simpelnya; sangat reasonable Teh, saya sedikit sealiran dengan beliau ehehe. :)

    Indeed, ini memang yang penting ya Teh: "Semua kebutuhan terpenuhi dan semua bahagia!" Insha Allah, aamiin... :)

    BalasHapus
  6. Miriiiiip sama aku dan suami hehehe. Tapi mendingan suamimu, Ma. Kalau suamiku mah sekadar boros saja, kudu direm sama istrinya haha.

    BalasHapus

Posting Komentar