Ilma Hidayati Purnomo

Perasaanku Ketika Suami Tiba-Tiba Meninggal Dunia: Review Novel Dimensi Langit Manusia Karya Astrida Hara

Sedih, marah, kecewa, dan merasa ditinggalkan sendirian. Persis seperti apa yang Tavisha, tokoh utama novel Dimensi Langit Manusia, alami. Aku mungkin betul-betul tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup jika suamiku tiba-tiba meninggalkanku untuk selamanya. Tidak seperti Tavisha yang bisa melanjutkan hidup karena teka-teki yang ditinggalkan almarhum suaminya.

Barangkali, seumur hidupku baru ada sekitar sepuluh judul novel yang berhasil aku baca sampai tuntas. Alasannya, aku tak kuat terikat komitmen harus menyelesaikan bacaan yang tebal itu. Belum lagi efek otak yang terus dihantui pertanyaan bagaimana kelanjutan ceritanya apabila aku belum sempat membaca noovel sampai akhir akibat berbagai kesibukan yang harus aku kerjakan. Aku tak sanggup.

Nah, tapi, sekarang setelah aku bergabung dengan Writing Club IMSA (Indonesian Muslim Society America) Sister, aku malah dijebloskan (kalau ada kata yang lebih anggun, boleh kasih tau aku) ke proyek membuat buku oleh ketuanya, Astrida Hara. Parahnya lagi, buku tunggal yang harus aku tulis. Seketika ada banyak beban yang kupikul di bahu.

Sebulan bergulir sejak diterbitkannya pengumuman proyek buku di grup Facebook Writing Club dan aku masih merasa tertekan untuk menulis. Salahnya, aku malah membenamkan diri dengan scrolling timeline tanpa habis. Alhasil, otakku mengalami overstimulasi dengan segudang informasi tidak penting sehingga aku benar-benar tidak bisa menulis apapun.

Kuputuskan untuk membaca saja hasil karya ketua Writing Club IMSA Sister yang sudah terbit. Berhubung aku tidak tahu bagaimana cara membeli novelnya di Amerika, aku memanfaatkan aplikasi iPusnas. Dengan aplikasi ini, aku bisa membaca buku-buku terbitan penerbit di Indonesia dengan gratis dan legal. Wah, too good to be true, ya? 


Sampai di sini aku menyadari peran pemerintah yang ingin warganya semakin melek literasi ternyata luar biasa. Perpustakaan nasional membeli copyright dari penerbit-penerbit dan membuat versi digital dari buku-bukunya. Pengguna aplikasi iPusnas bebas meminjam dan membaca dalam kurun waktu tiga hari. Setelah itu, buku yang dipinjam akan kembali ke rak buku digital mereka dan bisa dipinjam oleh pengguna lainnya.

Oke, aku jadi melantur ke mana-mana. Jadi, alasan aku membaca karya Astrida Hara untuk menguji diri sendiri, mampukah aku menelurkan karya seperti Bu Ketua? Apakah akan ada insight bagi calon penulis novel sepertiku ketika nanti selesai membacanya? Kalau boleh aku simpulkan, aku membaca novel sebagai bagian dari survey dan hasilnya justru membuat aku seperti baru mendapat hidayah. Ceileh...

Novel Dimensi Langit Manusia bercerita tentang Tavisha dalam mencari kebahagiaan pasca ditinggal mati oleh suaminya, Galal. Beruntungnya, ia mendapat "petunjuk" untuk mencari kebahagiaan berupa teka-teki dan kado yang ditinggalkan oleh almarhum suaminya. Teka-teki itu memuat tiga pertanyaan:
[1] Apa yang paling berharga dari kematian?
[2] Apa gunanya perban?
[3] Ada apa dengan jurang dan pohon angker?
Juga terdapat tiga kado yang menyertainya. Namun, kisah pencarian kebahagiaan ini ternyata tidak hanya milik Tavisha, tapi juga milik Galal dan seorang laki-laki lainnya, Alvan. Siapakah dia?

Sekilas membaca blurb novel ini langsung membuatku penasaran dengan jawaban ketiga pertanyaan di atas. Ini permainan apa, ya? Walhasil, aku pun marathon membaca buku ini dengan font kecil-kecil di ponsel pintar dalam waktu dua malam. Ini sungguh sebuah pencapaian yang bisa kubanggakan mengingat sebetulnya aku tak suka terikat komitmen baca novel, apalagi menulis novel itu sendiri. Ironi wkwk

Namun, ternyata novel ini memang segitu worth it-nya untuk dibaca sampai tuntas secepat mungkin karena teka-teki yang terselip di dalamnya memang memberi pencerahan hidup. Aku seperti sedang mendengarkan ceramah agama yang disampaikan oleh ulama sekelas Nouman Ali Khan, begitu mencerahkan dan mencetuskan spark di dalam dada. Aku menduga, penulis novel ini memang merangkum berbagai ceramah yang ia dengarkan dan begitu memberi dampak dalam hidupnya dalam kisah tokoh-tokoh di novel ini.


Astrida Hara berhasil memberiku pencerahan tentang makna kelahiran, kehidupan, dan kematian dalam 322 halaman novel ini, termasuk cover. Jujur, ini juga pencapaian novel tertebal yang aku baca dan aku tahan membacanya sampai habis dalam waktu singkat! Penerbit Mekar Cipta Lestari memang layak diacungi jempol karena meloloskan karya sebagus ini untuk diterbitkan. 

Usut punya usut, ternyata novel ini adalah hasil perenungan penulis selama sepuluh tahun lamanya. Pantas, pelajaran berharga yang disampaikan dalam novel ini begitu padat, runut, tapi sangat menyentuh. Novel ini benar-benar merupakan sebuah rangkuman sederhana cara menjalani hidup yang sesuai keinginan-Nya. Aku sebut sederhana karena aku takut dibilang membandingkan dengan pedoman hidup umat Islam, Al-quran. Sekalipun sederhana, apabila direnungi dalam-dalam, isi novel ini juga bisa mengubah pandangan hidup kita, persis seperti yang Tavisha alami.

Apa aja yang aku dapatkan dari novel ini? Aku ulas sedikit dalam bentuk poin-poin, ya.

1. Cara pandang terhadap anak


Sebab Tavisha adalah seorang ibu satu putra, rasanya tak lengkap novel ini jika ditulis tanpa isu parenting. Betul saja, ada beberapa konflik dalam novel ini yang dipicu oleh hubungannya sebagai ibu kepada anaknya, bahkan ia dengan ibunya. Tak ketinggalan, ada pula pembahasan tentang hubungan ayah kepada anaknya.

Dua hal yang paling membuatku tersedu tentang isu parenting yang diangkat dalam novel ini adalah sebegitu percayanya anak kepada orang tuanya dan betapa kelahiran itu menakjubkan. Bagi anak, orang tua mungkin hampir seperti tuhan baginya. Ia bergantung sepenuh jiwa dan raga kepada orang tuanya dan sebesar itu pula mereka percaya dengan orang tuanya. Itu sebabnya, di mata mereka, orang tua adalah sosok manusia sempurna. Padahal, sebagai orang tua, aku jauh dari kata sempurna.

Namun, di sinilah titik yang membuatku tersadar, sebagai orang tua, aku harus selalu hati-hati dan waspada, supaya anak tidak terjebak suatu kesalahan karena kepercayaannya yang begitu tinggi terhadap orang tuanya. Misal, aku pernah kena tegur suami karena aku secara gampang bercerita kepada Razin kalau papanya tidak suka ayam yang aku masak. Bagi Razin, review seperti itu memberi dampak besar baginya karena itu adalah satu-satunya input dari sumber yang sangat ia percaya. Hal ini betulan bisa mengubah selera makannya ketika aku menyajikan ayam yang papanya tidak suka.

Poin kedua tentang betapa mekjubkannya kelahiran. Ini sebab percakapan almarhum suami tokoh utama yang begitu syok, dalam artian positif, saat melihat anaknya lahir ke dunia. Ia berkata, anak itu belum pernah ada yang mengenalnya di dunia dan ia merasa seperti bertemu makhluk yang belum pernah eksis di dunia. Aku merasakan hal yang luar biasa ketika membaca bagian ini. Tiba-tiba saja aku seperti mendapat kehormatan tertinggi dari Pencipta anakku dan anakku sendiri sebagai orang yang menjadi jalan keluarnya manusia yang belum penah ada sebelumya di muka bumi.

2. Menikah tidak lantas bahagia


Aku sungguh tertegun membaca percakapan Galal, almarhum suami Tavisha, ketika berpendapat soal hal ini. Menikah dan bahagia itu tidak ada hubungannya. Ketika dua orang menikah, mereka bisa banyak bertengkar atau saling belajar satu sama lain. Aku jadi ingat bagaimana dulu suamiku saat menyampaikan keinginannya untuk melamarku. Ia berkata, ia tidak bisa berjanji akan membahagiakanku, tapi ia akan berusaha. Realistis sekali, kan ya? Tapi gombal ini sungguh membuat hatiku terbang sampai ke langit. 

Coba teman-teman ingat, berapa banyak laki-laki yang gombalnya: aku akan menjadikanmu perempuan paling bahagia di muka bumi? Banyak! Sekarang aku tahu, itu gombal yang omong kosong. Pasalnya, perkara bahagia atau tidak, ya, tergantung pribadi itu sendiri. Membahagiakan orang lain itu seperti berusaha mengendalikan sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Berusaha, harus. Tapi memberi janji? Tak perlulah, daripada sulit ditepati.


3. Bahagia adalah sebuah keadaan


Di novel ini disebutkan salah satu tafsir "sakinah" adalah keadaan tenteram setelah bergejolak sebelumnya. Deg. Jantungku persis mau keluar membaca ini. Mengingat dulu tahun pertama dan kedua pernikahanku begitu bergejolak hingga hampir karam. Saat ini, aku merasa seperti berlayar di air yang tenang, sesekali saja ada gelombang.

Jadi, bahagia mungkin adalah sebuah keadaan. Ketika perasaan merasa tenang, tercukupi, tentram, itulah bahagia. Bahagia buat hanya satu momen saat merasa senang. Wah, jujur ini pemahaman baru.

Akhir kata, sepertinya ini juga baru kedua kalinya aku mengulas buku, jadi mohon maaf kalau ulasannya malah seperti curhat. Kalau ditanya, seberapa aku merekomendasikan novel ini untuk dibaca, aku akan sangat merekomendasikannya. Perjalanan spiritual tokoh-tokohnya di dalam novel ini membuat aku merasa ikutan belajar agama, tanpa merasa digurui.

Boleh menceritakan downside buku yang diulas kan, ya? Sedikit saja, sih. Hanya beberapa typo dan ada kesalahpahaman. Mungkin karena penulis tinggal di Amerika jadi somehow, waktu menggambarkan adegan lagi mengendarai mobil di tol, kok jadi belok kanan waktu mau keluar gerbang tol? Padahal latarnya di Indonesia. Waktu baca aku terkejut, tapi langsung paham. Ternyata sulit mempertahankan kesempurnaan detail dalam sebuah novel, ya.

Oh, soal hidayah yang aku dapat sebagai calon penulis novel, aku jadi yakin, aku juga bisa menulis novel. Yang penting aku mulai menulis saja dulu dengan konsisten. Toh, semua penulis yang novelnya sudah terbit pasti sudah mengalami revisi puluhan kali. Aku lebih santai sekarang, beban berat di bahuku sedikit terangkat. Terima kasih banyak atas semua insight-nya, Teh Astrida Hara!
Ilma Purnomo (Mama Razin)
Ibu rumah tangga yang kadang belajar hal baru, menulis, memasak, atau ngajar anak. Saat ini tinggal di Seattle, Amerika Serikat.

Related Posts

7 komentar

  1. Masyaa Allah mba ilma ternyata udh mau ngeluarin buku solo nih.. Semangat ya mba buat nyelesaiin bukunya.. Semoga diberikan kelancaran.. Ku tak sabar menunggu bukunya nih.. Wahhh..

    BalasHapus
  2. Jadi sedikit tahu mbak ILMA ini seperti apa orangyna. Wajar ya mbak jika psuami mbak ILMA juga perfectnya minta ampun, kurleb sama posisi kita, hy saja kami nggak berada di negeri orang. Dan semua RT pasti mengalami yang namanya bumbu² penyedap rumah tangga, kekuatan ada di doa, ketabahan dan sabar,,,, semoga bisa naik level ya mbak dg nahkoda masing², ditunggu buku Solonya mbak

    BalasHapus
  3. Mbak, bagi link nya dong... Aku juga mau baca novel Dimensi Langit Manusia Karya Astrida Hara. Ada buku fisik nya gak? Aku penasaran... Mbak Ilma kalau sudah nulis review buku, persuatifnya juara deh

    BalasHapus
  4. Nah betul sekali closing statementnya, yang oenting gakin aja. Saya juga awalnya berpikir apa bisa menulis? Tapi ternyata sebulan bisa sampai 45 ribu kata. Meskipun belum/tidka dicetak. Semamgat mb Ilma. You can do it

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahhh mantab pak 45 ribu kata udah bisa jadi berapa novel ituuu. Semangat mbak Ilma, aku tunggu juga novelnya.

      Eh tapi soal tol itu selama ini kalau dari Malang turun ke Surabaya juga jalur kanan lho mbak. Yang belok kirinya buat meneruskan ke arah Mojokerto. Tergantung arah kota tujuan dan posisi tolnya juga kali yaa.

      Hapus
  5. Wohooo.. Bau-bau buku solo bakal terbit genre novel. Keren ah. Ngeblog Iya, novelis juga Iya. Keren ulasan ya, aku paling payah Kalau nulis resensi buku wkwk lemah banget.

    BalasHapus
  6. Masya Allah aku terbawa suasana lho mbak membaca ini seakan ikut membaca juga novelnya. Aku udah jarang baca fiksi ehm. Aku meras atertohok juga nih ttg penuturan mbak bahwa review kita akan sesuatu membuat anak jadi notic ya ..duh

    BalasHapus

Posting Komentar