Sudah baca Trilogi Resah dan Gelisah (Bagian Dua)? Di tengah usaha kami mendaftar tiga jenis visa, malah semakin gencar isu visa mahasiswa yang dibatalkan. Di kampus almamater suami saja ada 7 orang: 3 mahasiswa aktif dan 4 alumni (situasi yang persis dengan suami: baru lulus dan masih menggunakan visa pelajar). Alasan penarikan kembali visa ini pun beragam. Contohnya, media sosial ybs terpantau mendukung gerakan antisemitism hingga pernah melakukan pelanggaran lalu lintas. Meresahkan sekali, ya 😩
Betapa kebetulannya tema Tantangan Blogging Level Up Mamah Gajah Ngeblog kali ini sesuai dengan kondisi kehidupanku yang dipenuhi keresahan. Biasanya aku cukup takut untuk curhat, mengeluh, atau sekedar mengutarakan apa yang aku rasakan di media sosial. Soalnya, pikiranku bisa kalut dalam menghadapi komentar pedas seperti yang pernah aku alami di Thread. Namun, kali ini aku mau membebaskan diri untuk mengeluarkan seluruh keluhan di blog. Aku sudah siap apapun komentar, kritik, maupun saran yang akan aku dapat nantinya.
Termasuk soal keresahanku akan kesehatanku akhir-akhir ini. Di penghujung usia 20an, aku merasakan keluhan fisik yang belum pernah aku alami. Mulai dari haid tidak lancar, anemia, hingga sinusitis.
Baru Merasakan "Sehat" Beberapa Tahun
Sewaktu kecil aku bersahabat akrab dengan rumah sakit. Mulai dari sakit tifus, alergi, hingga bronkitis yang membuatku sering batuk dan harus menjalani terapi uap. Sekitar usia 7 tahun, badanku mulai agak kuat. Salah satu tandanya, jenis makanan pantangan yang menyebabkan alergi (pemicu batuk dan gatal di kulit) mulai banyak berkurang. Sayangnya, sekitar usia 11 tahun, aku menderita mag.
Sejak saat itu, aku punya pantangan makan lagi. Tidak boleh telat makan. Tidak boleh makan cokelat, minum kopi, makan makanan pedas, makan mie, minum minuman bersoda, dan lain-lain. Kondisi ini berlanjut sampai aku menikah. Setelah menikah, aku tinggal di rumah mertua. Suami dan mertuaku sering sekali menyuruhku makan banyak dan banyak minum. Ternyata, magku sembuh!
Bayangkan, lebih dari sepuluh tahun menderita perut perih. Sering juga aku ke dokter buat minta obat mag yang manjur. Namun, mag itu tidak pernah benar-benar pergi dari hidupku. Ternyata, obatnya simpel. Hanya mengubah pola makan, lebih banyak makan dan minum. Sejak usia 24 tahun, aku terbebas dari penyakit. Paling-paling cuma gigi berlobang. Sayangnya, kondisi fit ini hanya berlangsung lima tahun.
Haid Tidak Lancar dan Sakit Otot
Usia 26 tahun, aku melahirkan anak kedua. Beres nifas, aku langsung minta dipasangkan IUD spiral untuk 10 tahun ke depan. Aku tidak haid karena menyusui sampai anakku hampir berusia 1,5 tahun. Waktu aku mulai haid lagi, darah yang keluar tidak lancar. Belum pernah aku mengalami hal seperti ini sebelumnya.
Misalnya, hari pertama jam 9 pagi ada flek darah. Lalu, seharian tidak ada. Besoknya, baru ada flek lagi jam 11 pagi. Lalu, bersih lagi sampai dua hari! Kurang lebih lima hari pertama seperti ini. Baru lah hari ke-6 sampai ke-11 jadi normal (darah haid keluar banyak, berangsur sedikit, lalu habis).
Selain itu, otot kakiku menjadi mudah pegal. Jalan kaki sedikit terasa pegal. Puncaknya, waktu itu, aku habis bersepeda santai selama dua jam. Malamnya otot kakiku terasa pegal dan keram yang parah. Aku tidak bisa tidur. Kakiku sampai harus diseret saat berjalan. Aku coba rendam kakiku di air hangat, tidak ada perubahan. Terpaksa aku minum obat pereda rasa sakir (ibuprofen).
Dua bulan setelah aku resmi berusia 29 tahun, aku pergi ke klinik. Niatnya untuk cek kesehatan tahunan. Namun, setelah aku mengeluhkan soal haidku yang tidak lancar, aku jadi harus menjalani tes darah dan usg. Hasilnya, kadar hemoglobinku hanya 9 (normalnya 12,5) dan posisi IUD-ku geser. Dokter bilang aku kena anemia karena haidku terlalu panjang akibat penggunaan IUD tembaga. Rupanya anemia ini juga yang menyebabkan pegal-pegal.
Sederet Penyakit Lainnya
Sejak saat itu, badanku jadi gampang sakit. Seperti terinfeksi COVID pada akhir tahun 2023 hingga mengalami sinusitis bulan lalu. Secara umum memang badanku terasa mudah lelah. Sudah sulit skip tidur siang (pasti jadi ngantuk dan sakit kepala). Belum lagi berat badanku mulai bertambah tak terkendali yang sepertinya diakibatkan oleh kombinasi stay di rumah aja dan kurangnya makan sayur dan buah (apa boleh buat, harga makanan di Seattle serba mahal).
Kesimpulan
Setelah aku pikirkan lagi, trilogi Resah dan Gelisah 2025 ini memiliki satu benang merah. Di tulisan pertama, aku mengeluhkan hubunganku dengan orang tua. Di tulisan kedua, aku mengeluhkan hubunganku dengan suami. Di tulisan ini, aku mengeluhkan hubunganku dengan diri sendiri. Padahal, harusnya aku masih bisa mensyukuri semua itu!
Bukankah harusnya aku bersyukur, aku masih punya kedua orang tua yang sehat dan mereka bersusah payah ingin mengunjungiku yang belum bisa pulang ke Indonesia? Bukankah harusnya aku bersyukur, suamiku punya banyak pencapaian dan ia memberiku ruang untuk berkembang dengan mengurus hal sulit ini (apply visa)? Bukankah harusnya aku bersyukur, semua penyakit itu hanya datang sejenak dan selebihnya kesehatanku secara umum termasuk optimal?
Tiga tulisan ini membantuku berefleksi tentang apa yang biasanya aku keluhkan, sebenarnya tidak ada apa-apanya dibanding hal yang bisa aku syukuri. Maka, keresahanku yang sebenarnya adalah, bisakah aku mensyukuri kondisi apapun yang terjadi dalam hidupku?
Posting Komentar
Posting Komentar