Ilma Hidayati Purnomo

Petaka dari Acara Pengajian

Setahun terakhir, aku mulai rutin mengikuti acara pengajian diaspora Indonesia di wilayah Chicago dan sekitarnya. Terutama sejak kami mulai gabung beberapa grup, organisasi, dan mulai kenal sesepuh di Chicago. 


Kenapa Rutin Ikut Pengajian? 

Pertama, situasi dan kondisi sudah mendukung. Kami sudah punya kendaraan pribadi yang mampu membawa kami ke manapun di US. Anak-anak juga sudah besar dan cukup bisa diajak kompromi. Kami juga punya bestie yang mau diajak ke mana-mana bareng, yaitu keluarga Mas Muhsin. 

Kedua, suamiku tipe orang yang semangat menjalin silaturahmi, berbeda denganku yang cenderung malu ketemu orang baru. Meskipun begitu, aku akui, berkenalan dengan orang baru sedikit mengurangi kerinduan kampung halaman. 

Di sini, berkenalan dengan orang baru benar-benar bisa menambah saudara. Kalau udah klop, hubungan yang terjalin bisa seperti orang tua sendiri, paman, atau bahkan kakek. Wajar, age gap-nya besar sekali. Ada yang sudah berusia 73 tahun dan kami anggap sebagai kakek sendiri.

Salah satu orang Indonesia yang kami anggap seperti saudara adalah Pak Agus. Beliau banyak membantu kami saat aku melahirkan. Beliau mengasuh anak pertama kami selama aku di rumah sakit.

Sekarang Pak Agus sudah kembali ke tanah air. Beliau masih sering menghubungi kami dan menanyakan anak pertama kami. Pak Agus seperti paman sendiri meskipun tidak ada hubungan darah. 

Terakhir, aku suka ikut pengajian rutin karenaa ... aku bisa memanjakan lidahku dengan masakan Indonesia! Hampir setiap ada kumpul-kumpul orang Indonesia pasti ada makanan. 

Potluck, botram, atau apapun lah namanya. Setiap orang boleh membawa makanan halal apapun. Kebayang kan, bakal ada berapa macam makanan Indonesia yang tersaji?

Kalau kata Ustadz Hadi, pengisi kajian minggu lalu, kami yang tinggal di US lebaran tidak cuma dua kali setahun. Kalau kajian rutin diadakan tiap bulan, berarti kami lebaran tiap bulan. 

Silaturahmi, ngobrol, ketemu banyak orang, ada sajian makanan, bersuka cita bersama. Kalau di Indonesia, kegiatan seperti ini hanya lebaran dan terbatas satu keluarga (hubungan darah). Di sini, semua orang Indonesia boleh hadir.

"Seakan-akan kami membuat Indonesia kecil di negeri orang"


Ragu untuk Berangkat

Sabtu, 2 Desember 2023 digelar pengajian rutin di salah satu rumah diaspora Indonesia di Milwaukee. Waktu tempuh ke sana kurang lebih dua jam dari Chicago. 

Pagi itu, kami masih ragu apakah mau menghadiri pengajian atau tidak. Tempatnya jauh. Cuaca mendung. Lagipula, seingatku, rumah host-nya tergolong sempit. Kalau ada banyak orang yang datang bisa berhimpitan. 

Istri Mas Muhsin, Mbak Bintang, menghubungiku lewat WA paginya. Awalnya aku jawab tidak akan pergi karena suami juga ada tugas menilai ujian mahasiswa.

Tiba-tiba saja suami minta izin ke profesornya. Ternyata, ia diizinkan pergi. Suami pun langsung memintaku siap-siap pergi pada jam 10:30 padahal acara akan dimulai jam 12.

Beres sarapan, mandi, dan siap-siap ternyata jam menunjukkan angka 12. Kembali merasa ragu untuk berangkat. Namun, kami merasa tidak enak dengan Mas Muhsin yang sudah menuju ke tempat pengajian. 

Alhasil, kami sampai hampir setengah 3 sore. Memasuki area parkir, kami cukup kaget melihat deretan mobil. Ada sekitar 20 mobil di sana. Tidak terbayang, sesumpek apa di dalam rumah. 

Masuk ke dalam rumah, ternyata acara pengajian belum mulai. Makanan sudah disajikan dan sebagian besar peserta sudah makan siang. Saat itu, panitia pemilu luar negeri sedang sosialiasi pindah tempat mencoblos. 

Sebagian besar peserta pengajian duduk, memperhatikan, mengobrol, bahkan ada yang bolak-balik ambil makanan. Jadi, aku pun santai saja ambil makanan sambil membelah kerumunan orang yang duduk. 


Bencana Dimulai

Seperti biasa, kalau baru masuk ke tempat kumpul-kumpul orang Indonesia, anak-anakku pasti langsung pingin cek makanan. Kuambilkan spring roll, onde-onde yang lebih mirip mochi goreng dilumuri wijen, dan kue marbel. 

Seperti biasa pula, anakku akan mencoba sedikit, lalu tidak lagi tertarik dengan onde-onde maupun spring roll-nya. Jadilah, Mamak anak dua ini tempat sampah bagi mereka. 

Saat kami kembali ke meja makan, suami melihat ada durian beku yang sudah dikuliti dan dibungkus plastik. Waah, suami dan anak-anak langsung membuka dan rebutan ingin memakannya. Aku sih, nonton dan bantu suapin anak-anak aja. 

Berhubung anak-anak jadi berisik karena rebutan durian, terpaksa aku menyingkir dari kerumunan orang menuju dapur. Setelah itu, kembali mengambil beberapa makanan dan duduk bersama orang-orang yang mendengarkan pengajian. 

Berhubung anak-anak ternyata masih berantem juga, tadinya aku minta suami buat bawa salah satunya. Apalagi saat itu kajian bersama Ustadz Hadi sudah dimulai.

Aku pun mengambil banyak buah-buahan potong: nanas dan melon untuk anak-anak. Berharap mereka bisa diam sebentar sementara aku menyimak kajian. 

Sepertinya Ustadz Hadi juga paham situasi yang kurang kondusif (tempat kajian yang sempit berisi banyak orang dan anak kecil) sehingga beliau mempersingkat ceramahnya. Setelah kajian, sang empunya rumah ternyata punya acara. 

Tiba-tiba saja ia mengeluarkan sebuah cake berbentuk lingkaran yang dihiasi dengan macaroon berwarna-warni menempel di sekelilingnya. Kemudian ia mengumumkan bahwa istrinya berulang tahun yang ke-44.

Setelah prosesi tiup lilin (lebih tepatnya mematikan api dengan mengipasinya) dan pembacaan doa oleh Ustadz Hadi, semua orang dipersilakan makan. Anak-anakku yang penasaran langsung maju dan mengambil macaroon.

Sayangnya, mereka cuma mencoba segigit dan kembali memberikan sisanya kepadaku. Ketika aku akan memakannya, aku terkejut mencium suatu bau yang aneh. 

Bau seperti sesuatu yang basi. Lalu aku menyadari kalau cake itu terbuat dari cream cheese. Hanya saja, baunya benar-benar mengganggu. Seperti yogurt yang basi. Kecut dan bau menyengat. 

Tidak memedulikan firasat, aku habiskan saja macaroon yang menurutku rasanya juga aneh. Rasanya hambar. Berkali-kali aku memandangi dan mencium macaroon itu sebelum menggigitnya. Karena eneg, aku tidak berani ambil potongan cake-nya. 


Silaturahmi dan Makan Sampai Kenyang

Sudah jadi kebiasaan kami untuk datang ke acara paling telat dan juga pulang paling terakhir. Kami menyempatkan berbincang dengan pemilik rumah dan beberapa tamu.

Sebagian besar peserta pengajian sudah pulang sambil mengantongi plastik ziplock berisi makanan. Itu juga kebiasaan orang Indonesia di Amerika. Beres acara, semua orang boleh bawa pulang bekal. Pokoknya semua makanan harus habis. 

Ternyata, pemilik rumah malah masak nasi goreng dan mie goreng untuk tamu yang belum pulang, termasuk kami. Setelah aku makan gado-gado, lanjut makan nasi goreng dan mie goreng. Praktis perutku bengkak dan sakit karena kekenyangan. 


Gejala-gejala Sakit

Malan Sabtu, aku masih bisa menyetir pulang dengan perut sakit akibat kekenyangan. Sampai di rumah pun masih kurasakan sakit. Namun kupikir itu wajar hingga esoknya ternyata perutku semakin membuncit dan terasa melilit. 

Hari Minggu aku habiskan dengan tidur untuk meredam rasa sakit perut yang luar biasa ditambah sakit kepala. Rasanya cenat-cenut terutama setiap aku mengubah posisi tubuh. 

Hari itu aku hampir tidak bisa makan karena merasa mual. Tidak sampai muntah dan tidak juga diare. Namun, badanku terasa sakit dan suhu tubuhku naik. 

Hari Senin aku masih merasakan sakit yang sama dan sayangnya, aku harus membawa anak pertamaku ke KJRI. Apa boleh buat, aku sudah menyetujui janji buat paspor. Sakit perut yang semakin memyiksa tidak menghentikanku untuk menyetir mobil dan jalan ke gedung KJRI dari parkiran. 

Senin malam, rasa melilit di perut mulai berkurang. Gantinya, sakit kepala yang kian menyiksa. Di malam hari, aku masih mengalami demam dan nyeri otot. 

Alhamdulillah, pada Hari Selasa rasa sakit perut dan kepala mulai berkurang. Gantinya tenggorokanku sakit. Sepertinya selain mengalami stomach flu (itu sebutan orang sini untuk sakit perut akibat virus), aku juga tertular flu. 

Bersyukur Hari Rabu pagi aku sudah merasa jauh lebih baik. Fyuh, ternyata makan makanan manis tidak hanya buruk untuk kesehatan gigi, juga untuk perutku. 

Entahlah apa yang terjadi sama cheesecake itu. Mungkin aku intoleran dengan produk susu. Mungkin juga cara penyimpanan cheese cake itu yang tidak benar. 

Anyway, tiga hari sakit aja berat badanku langsung turun sekilo wkwk


Kesimpulan

Curhat ini aku buat supaya aku ingat, ke depannya aku harus berhati-hati ketika makan. Jangan sampai mentang-mentang ada makanan gratis, semua dimakan tanpa memperhatikan keamanan makanan, baik dalam segi kelayakan makanan maupun efeknya ke badan. 

Teman-teman di sini pernah keracunan makanan dari suatu acara? 

Sumber: dibuat oleh AI dari aplikasi


Plot Twist

Hari Rabu 6 Desember ini suami nyuruh aku tes Covid aja. Soalnya aku cerita ke dia kalau aku kayak mau flu. Ototku sakit. Dia juga bilang kalau sakit perut itu salah satu gejala Covid. 

Kucarilah covid test kit di rumah. Ada dua tapi udah expired Bulan Oktober lalu. Biarlah, aku coba aja. Lah kok taunya hasilku positif.

Sejauh ini yang aku rasakan cuma sakit perut, kepala kayak ditusuk-tusuk, meriang, sakit tenggorokan, sempet diare sekali, sama sakit otot. Mudah-mudahan tidak bertambah parah dan virusnya segera dikalahkan sama sistem imun tubuhku. 

Lalu, apakah cuma aku yang kena Covid? Next, aku bakal cerita lagi di postingan selanjutnya.


Ilma Purnomo (Mama Razin)
Perempuan Indonesia yang saat ini tinggal di Chicago, USA, menemani suami kuliah doktoral. Seorang ibu rumah tangga yang disibukkan oleh dua putranya (Razin dan Zayn). Suka menulis dan belajar hal baru.

Related Posts

5 komentar

  1. Aih, memang itu salah satu gunanya indera penciuman: mendeteksi makanan yg berpotensi bakal ditolak tubuh kita pribadi.
    Hati2, jaga stamina suami dan anak2. Istirahat. Semoga sepat sehat lagi ya teh Ilma 🙏❤️

    BalasHapus
  2. Pelajaypenting nih bagiku : harus waspada bila indera penciuman merasakan hal aneh pada suatu makanan, mending tak jadi makan saja daripada sakit. Dan juga harus bisa menerapykonsep secukupnya berkaitan dg makanan ya.. Terima kasih sharing nya ya

    BalasHapus
  3. Ya Allah Mbak.. semoga lekas sehat lagi ya. Kayaknya aku pernah juga keracunan gitu, lebih tepatnya mungkin karena semakin berumur, imun jelas berbeda waktu masih remaja. Sejak itu, aku lebih berhati-hati sih, apalagi jika lidah mulai merasakan ada yang tidak biasa. Serem aja kalau kejadian lagi kayak dulu, sampe semalaman gak bisa tidur, wkwkk.
    tapi hikmahnya ya kita jadi lebih aware dan berhati-hati.

    BalasHapus
  4. Syafakillahu, ka Ilma..
    Anak-anak gak sakit kan ya, kak?
    Subhanallahu.. Sebenernya aku setuju dengan ka Ilma sih, terkait adab menghabiskan makanan yang diambil. Tapi tanpa mengetahui kalau ujungnya sakit, semoga menjadi sebuah pembelajaran berhikmah.

    BalasHapus
  5. Subhanallah. Peserta pengajian yang lain gimana Mba, apa ada yang merasakan keluhan yang sama? wah, saya juga pernah ngerasain sakit kepala ditusuk-tusuk sampe teriak-teriak kalo kambuh, entah karena salah makan atau hal lain.

    kalau keracunan makanan pernah sekali makan cheese roll waktu acara kantor lama, berhubung saya suka makanan itu ya langsung saya makan aja haha. taunya abis itu sakit perut parah :))

    BalasHapus

Posting Komentar