Ilma Hidayati Purnomo

Sinopsis dan Review Eiffel... I'm in Love (2003)

Siapa yang suka nonton ulang film jadul yang sempat populer? Hmm, sejujurnya saya belum pernah nonton film ini saat booming dulu meskipun sama tenarnya dengan AADC. Kali ini, saya bela-belain tonton demi kepentingan survey untuk tantangan menulis, hihi. Supaya saya juga tidak lupa dengan detail jalan ceritanya, saya akan tulis sinopsisnya di sini. Toh sudah tidak ada spoiler lagi, kan? Setelah itu saya akan tulis reaksi jujur saya terhadap film ini.

Tentang Film Eiffel I'm in Love

Film Eiffel... I'm in Love tayang di bioskop tahun 2003. Film bergenre komedi remaja romantis ini mengusung tema konflik remaja dan orang tua. Eiffel... I'm in Love dibintangi oleh Samuel Rizal dan Shandy Aulia sebagai pemeran utama. Film ini diangkat dari novel laris berjudul sama karya Rachmania Arunita. Durasi film ini 262 menit (extended version atau cerita lebih lengkap).
Sinopsis Eiffel... I'm in Love
Film ini disutradarai oleh Nasri Cheppy sedangkan soundtrack-nya digubah oleh Melly Goeslaw dan Anto Hoed. Naskah ceritanya ditulis oleh Riheam Junianti. Film ini memenangkan dua kategori MTV Indonesia Movie Award yaitu sebagai Most Favorite Movie dan Most Favorite Actor.

Sinopsis Eiffel... I'm in Love

Cerita diawali dengan scene sepasang bocah usia 6 tahunan. Mereka berbagi cerita nanti besar mau jadi apa. Si anak cewek bilang ingin jadi pramugari, princess, dan juga menikah tapi belum tahu akan menikah dengan siapa. Si cowok bilang, mau jadi bagian dari mimpi itu. Mereka pun menautkan janji jari kelingking.

Lalu, adegan berganti dengan shooting di SMA dan cerita tentang anak cewek bernama Tita yang hidup di keluarga yang bahagia atau menderita(?). Pasalnya, Tita yang berusia 15 tahun ini berada di bawah pengawasan Bundanya yang overprotective.

Ia tidak diizinkan pergi ke mal dengan temannya (yang ternyata maksud Tita adalah pacarnya). Tapi Tita justru diminta menjemput teman orang tuanya beserta putranya di bandara. Mereka baru datang dari Perancis. Anehnya, bukan kakak laki-lakinya Tita, Alan, yang diminta menjemput.

Selanjutnya Tita berada di kamar tengah menelpon dengan nada-nada bucin. Oh, ternyata dengan pacarnya, Ergi. Diam-diam Tita menelpon karena tidak ingin diketahui orang tuanya. Tita menjalani pacaran tipe backstreet

Paginya, Tita berada di bandara. Menunggu 3 jam, tamu itu tak kunjung datang. Tita akhirnya menelpon orang tuanya dari telpon umum. Rupanya, Tita salah tempat menunggu. Ia menanti di kedatangan dalam negeri, bukan luar negeri.

Tita berlari di sepanjang selasar bandara. Lalu, menabrak laki-laki yang sedang membawa minuman. Dengan slow motion, laki-laki itu memperbaiki jaketnya. Lalu, ia marah-marah kepada Tita yang dengan cerobohnya berlari, menabrak, hingga menumpahkan minumannya.

Rupanya supir Tita yang mengikutinya berlari mengenali laki-laki itu. Dia Adit, anak dari Om Reza, teman orang tua Tita. Setelah beres marah-marah, Adit menunjuk Papanya yang duduk menanti di bandara. Berbeda dengan Adit, Om Reza menyambut Tita sangat ramah bahkan seperti menemui anaknya sendiri.

Om Reza dan Adit menginap di rumah Tita. Rupanya, Adit tidur sendiri di kamar sebelahnya kamar tidur Tita.

Suatu hari, Uni, sahabat Tita, ingin sekali main ke rumah Tita demi melihat Adit, laki-laki dari Perancis yang akan dijodohkan dengan Tita. Begitu Uni melihat Adit, ia langsung terpana. Gayung bersambut, ternyata Bundanya Tita meminta Tita mengantar Adit membeli oleh-oleh. Uni pun ikut serta.

Selama berada di mal, Uni dan Adit begitu dekat. Adit tampak ramah terhadap Uni, tapi tetap jutek kepada Tita. Tiba-tiba saja Uni berpisah karena melihat Mamanya di Mal. Namun tak lama, Adit menerima telpon di ponselnya, dari Uni. Uni meminta Tita turun ke lantai bawah karena ada hal yang ingin disampaikan.

Tita pun meninggalkan Adit dan tanpa sengaja memergoki Ergi jalan di mal dengan seorang perempuan. Hal itu diamini oleh Uni. 

Kita fast forward aja ke saat di mana Tita pergi melihat pesta kembang api. Akhirnya Tita diizinkan keluar rumah malam-malam karena ditemani Adit. Tita mengajak serta pacarnya, Ergi. Sedangkan Adit mengajak seorang perempuan bernama Intan yang diakuinya sebagai pacarnya. Adit tampak sangat tidak menyukai Ergi. 

Adegan berpindah ke perbincangan Tita dan Intan. Intan membeberkan kalau dia sebenarnya mantan pacarnya Adit yang dibayar untuk datang dan menemaninya malam itu. Intan bahkan menunjukkan keheranannya ketika menyadari sepertinya Adit menyukai Tita, yang menurut Intan, standarnya di bawah dirinya.

Tiba-tiba timbul keramaian. Adit menghajar Ergi. Ketika Tita membela Ergi, Adit malah menarik Tita pergi. Di tempat sunyi berdua, Adit menjelaskan kalau Ergi itu berselingkuh. Ia memergoki Ergi sedang bermesraan dengan Intan di apartemennya. Pantas saja Tita merasa Intan tidak asing lagi. Rupanya, ia adalah perempuan yang jalan bersama Ergi di mal.

Skip lagi, tiba-tiba Adit harus pulang ke Perancis. Saya tidak ingin menuliskan detailnya karena lama sekali adegan di bandara ini. Kalau mau baca sinopsis lengkapnya, silakan kunjungi Wikipedia.

Saya langsung skip filmnya sampai ke adegan di Kota Paris yang ternyata hanya berlangsung selama 20 menit terakhir, dari 262 menit total panjang film ini. Film ditutup dengan peresmian hubungan Adit dan Tita.

Review Eiffel I'm in Love

Opening-nya basi! Wkwkwk. Lebih parah daripada sekedar klise. Lihat opening anak cowok dan cewek itu aja udah bisa nebak ending-nya, Hoo, mereka pasti nanti jadian/nikah. Dah, gak perlu nonton film sekian jam.

Btw, Shandy Aulia kok uwu banget. Masih lucu, kinyis-kinyis, kayak anak SD. Suaranya juga kecil imut-imut gitu. Efeknya jadi keliatan terlalu polos.

Orang tua saya cukup protective. Saya cukup relate dengan kehidupan Tita. Jarang dapat izin pergi jalan-jalan dan tidak diizinkan pacaran, hingga saya memilih jalan yang sama: backstreet.

Waktu Tita nunggu di bandara, kehadiran telpon koin rasanya bikin nostalgia. Walaupun sedih juga, Tita kan anaknya orang kaya (rumahnya mewah, cuy), tapi kok gak punya ponsel, ya? Tahun 2005, saya saja sudah punya ponsel.

Waktu si Adit di-shoot pakai slow mo di bandara setelah ditabrak Tita, duh... rasanya wagu! Apa sih terjemahannya? Aneh? Kaku? Tidak luwes? Gak... gak... Aneh yang alay. Nah, itu baru bener. Kayak bikin gregetan dan pingin teriak "Apaaan siiiiih???" Geleuh (jijik) tau.

Saya agak bingung. Tita waktu mau jemput Adit dan Papanya itu di-briefing dulu gak, sih? Nanti jemputnya di terminal sekian, penerbangannya ini, jam segini. Gitu kan harusnya? Yang paling penting, kasih liat fotonya Adit dan bapaknya! Gak logis dong, nungguin orang yang Tita ajak gak tahu wajahnya di bandara yang berisi ratusan orang. Hhh... gak habis pikir.

Kan ceritanya, Adit dan Tita itu teman masa kecil. Terus Adit pindah ke Perancis. Ya, mana mungkin inget wajahnya setelah 8 atau 9 tahun kemudian. Lagian wajahnya mungkin udah berubah jauh setelah mengalami pubertas. Anehnya lagi, kok supirnya malah tahu Adit?

Oh ya, sebenernya pas nunggu di bandara, Tita ini mengeluarkan headset terus dengerin radio di walkman (jadi nostaliga lagi). Dia dengerin salah satu channel, terus lagi acara titip salam. Awalnya, yang kirim salam itu cewek di sekolahnya Tita (Fara) yang ngomongin gosipnya Tita yang mau jemput calon suaminya. Kabarnya nyebar gara-gara sahabatnya Tita yang dikasih tau hari sebelumnya, ember banget.

Terus Fara ini nyangkut pautin Ergi, disuruh putus aja biar Ergi buat Fara. Ada isu hamil sama Ergi segala. Apaan sih, masa gosip bisa nyebar kayak gini di sekolahan? Ini sekolah atau tempat training-nya Lambe Turah?

Konyolnya lagi, habis itu tiba-tiba Ergi yang nelpon. Nih ya, saya kasih tau. Saya juga dulu pernah coba nelpon ke stasiun radio demi jawab kuis. Nelpon kayak gitu, nunggunya lamaaa. Belum tentu diangkat dan harus sabar coba berkali-kali. Kalau sampai akhirnya dijawab, itu namanya rezeki! Lah, ini kok gampang banget? Settingan tuh...

Oh ya, soal Bundanya yang protective, gimana ceritanya gak bolehin anak keluar sekedar ke mal, tapi malah ngizinin anak cowo bukan mahram tidur di sebelah kamar anak gadisnya? Mana mereka di lantai dua, sedangkan para orang tua di lantai satu. Lah trus, kalau anak-anak mereka diam-diam berkembang biak, gimana?

Ibaratnya gini: Tita gak diajarin untuk keluar rumah dan mempertahankan diri dari segala gangguan. Eh tapi, gangguannya dibawa masuk ke rumah sedekat mungkin dengan Tita. Orang tuanya Tita sehat gak, sih?

Ya tau, mereka diniatkan buat dijodohin. Tapi kan yang bener step-nya itu: nikahin dulu, baru deketin tempat tidurnya. Lah ini kebalik... Baiklah, sepertinya perlu saya kesampingkan dulu bahasan dari segi agama. Bisa-bisa gak kelar-kelar ini tulisan :p

Next, hal yang mengganjal adalah juteknya Adit. Dia itu juteknya gak konsisten alias juteknya itu bukan sifat aslinya. Buktinya, pertama kali ketemu Uni, dia mendadak jadi lunak, ngajak kenalan, bahkan langsung tukeran nomor HP.

Jutek dan sok cool-nya Adit itu sengaja ditujukan untuk Tita. Mendadak jadi nyolot kalau ngomong sama Tita. Parahnya lagi, menurut saya, Adit itu menindas Tita, bukan cuma jutek. Masa Tita disuruh membawa banyak barang secara paksa setelah belanja oleh-oleh juga disuruh mencari supirnya. Di kesempatan lain, sengaja dijemput dari sekolah dan diturunin entah di mana, disuruh pulang sendiri ke rumah. Kan tau sendiri kalau Tita itu hidup di sangkar emas dan sangat dilindungi sama orang tuanya. Kalau disuruh pulang sendiri terus kenapa-kenapa di jalan, emangnya Adit mau tanggung jawab? Seenaknya aja...

Dan soal Ergi, wajar lah kalau dia digambarkan sebagai pacar yang sabar dan penyayang, mau pacaran dua tahun gak pernah nge-date sama Tita pun gak papa. Lah, bagi Ergi, Tita kan cuma pacar bayangan.

Red flag semua, dah laki-laki di film ini. Bapaknya yang protective, Bapaknya Adit yang santai aja bilang anaknya berubah karena ibunya baru meninggal (ternyata diceritakan selanjutnya kalau udah lama cerai sama Ibunya Adit, tapi Ibunya Adit sampai meninggal karena kecelakaan mobil gara-gara berantem sama Bapaknya), Ergi yang cuma memanipulasi Tita (sok baik padahal punya selingkuhan), dan Adit yang suka nindas.

Sampai cerita di sini, saya baru nonton sekitar 50 menitan dan saya udah lelah. Bagi saya, tidak ada akhir cerita yang ditunggu dari film ini. Padahal saya penasaran scene di Eiffel itu kek mana...

Soal kejadian di pesta kembang api, saya bersyukur, akhirnya cerita ini ada naik-naiknya haha. Akhirnya cerita ini ada konflik benerannya, ada ketegangannya, ada penyelesaian masalahnya, setelah satu jam lebih lamanya. Standing applause. Yah, walaupun pembawaan ketegangannya terlalu drama yang dibuat-buat.

Sejujurnya, saya jadi kasihan sama Tita yang hidup di lingkungan toxic. Dia biasa dikontrol penuh sama orang tuanya dan kayak gak tau harus punya pendirian kayak apa. Ikut aja arus kehidupan. Again, saya merasa relate juga dengan hal ini. Selain karena diasuh dengan gaya helicopter parenting, saya juga mengalami kondisi fatherless.

Oke, terus tiba-tiba Adit harus balik ke Perancis. Adegan di bandara ini banyaaaak banget ngomongnya, si Tita juga ngomong dalam hati melulu, pokoknya ribet banget, deh. Adegan ke bandara sampai akhirnya beres itu hampir 45 menit sendiri.

Mana Tita itu persis anak kecil yang ngerengek karena ditinggal Ayahnya kerja. Dan Adit itu kayak Ayah yang gak tegas. Tita ngerengek dikit bilang jangan pergi, ehh si Adit pakai balik lagi, merayu dan menenangkan lagi. Hih, saya saja kesal lihat orang tua yang kayak gini. Lah ini, cuma dua orang pacaran!

Saya sudah di titik tidak sabar menonton film ini. Maksud saya, kenapa bisa film yang ceritanya gak jelas kayak gini menang Most Favorite Movie di MTV Indonesia Movie Award. Yah, kalau saya nonton film ini di usia segitu, mungkin agak ikut merasakan kesengsem-nya. Tapi, saya tetap merasa jengkel dengan jalan ceritanya yang lelet banget kayak siput!

Jadi, ternyata scene di Kota Paris hanya 20 menit dari 262 menit. Terus, frame yang menunjukkan Menara Eiffel bahkan bisa dihitung jari. Kalau kata blogger Mbak Widyanti di kelas ngeblognya, ini namanya judul gak sesuai dengan ekspektasi. Lah, di judulnya tertulis Eiffel tapi tower-nya cuma nongol sekian detik.

Kalau menurut saya sih, film ini berusaha mendapatkan ketenaran seperti Ada Apa dengna Cinta yang tampil di bioskop beberapa tahun sebelumnya. Sayangnya, dari segi cerita sangat jauh perbedaannya. Saya paling suka dengan film yang punya banyak unsur kejutan dan tempo pergerakan ceritanya cepat.

Kesimpulan

Untuk tema hubungan orang tua dan anak, saya rasa sudah logis. Anak yang biasa dilindungi orang tuanya jadi bersifat manja, cengeng, tidak punya pendirian, dan kesulitan membuat keputusan seperti Tita. Saya berkata begini karena saya mengalaminya dan hal-hal ini dikoreksi besar-besaran oleh suami saya. Saya justru menaruh harapan karakter Adit seharusnya bisa, lho jadi laki-laki yang mendidik Tita.

Dari segi penulisan cerita, saya yakin teman-teman bloger saya bisa buat cerita fiksi yang jauuh lebih baik dari ini apalagi bagi mereka yang sudah sering ikut kelas ngeblog. Standar aja, mulai dari buat judul yang sesuai isi. Maksudnya, bisa menyesuaikan ekspektasi pembaca terhadap isinya. Lalu, membuat cerita storytelling yang tidak bertele-tele.

Daya tarik film ini paling mentok di sisi nostalgia dan lagu-lagu Melly Goeslaw yang gampang sekali nancep di otak. Juga pengingat kalau masa-masa remaja ya, memang begitu. Pernah galau gak jelas. Sebagai orang tua, saya jadi sadar betul bahwa anak-anak usia segitu memang perlu pendampingan yang jelas dan konsisten, bukan cuma sekedar dilarang-larang.

Bagaimana pendapat teman-teman mengenai film ini? Apakah komentar saya terlalu negatif? Wkwk. Yuk, berbagi di kolom komentar :D

Ilma Purnomo (Mama Razin)
Perempuan Indonesia yang saat ini tinggal di Chicago, USA, menemani suami kuliah doktoral. Seorang ibu rumah tangga yang disibukkan oleh dua putranya (Razin dan Zayn). Suka menulis dan belajar hal baru.

Related Posts

1 komentar

  1. Ngakak so hard... Iya geleuh banget sih kalau nonton sekarang. Apa karena sudah berumah tangga yaa??? Tapi dulu aku menikmati, dan pikiran ku nggak sampe kesana2 mbak, perihal tidur dempetan kamr, atau Adit yang jijay lebay itu. Taunya so romantic aja wkwk

    BalasHapus

Posting Komentar