Ilma Hidayati Purnomo

Eiffel... I'm (NOT) in Love, but Chicago... I Learn to Love

Bulan madu di Paris, apakah pasti romantis? Mungkin membayangkan naik ke atas Menara Eiffel sambil bermesraan dengan pasangan halal rasanya seperti mimpi jadi kenyataan. Namun, bagaimana jika perjalanan ke kota historis ini justru berakhir tragis?
Sengaja muka aku miring gitu biar kalau di share di medsos, muka aku misterius. Foto: dokumentasi pribadi
Mei 2017, baru seminggu kami menikah ketika suami mendapat email dari CERN. Ia diterima program magang selama musim panas di sana. Aku senang, tapi juga cemas. Baru pertama kali aku akan pergi ke luar negeri tanpa orang tua dan tuntutan suami terasa begitu berat.

Aku yang 22 tahun jadi anak rumahan dan semua hal beres di tangan orang tua, mendadak harus urus visa, beli tiket pesawat, packing, hingga terbang sendirian ke Swiss. Visa Schengen-ku ditolak jadi aku harus ngurus ulang dan nyusul suami ke sana. 

Aku pikir, menikah dan bulan madu bakal banyak enaknya. Ternyata, selama di luar negeri kami malah sering bertengkar. Aku itu udah nikah, tapi kayak gak paham nikah itu gimana dan sebagai istri harus ngapain. Di kamar apartemen, kerjaanku cuma rebahan dan medsosan. Ya, pantes suami jadi gak sabaran.

Salah satu masalahnya, udah sampai ke Eropa, masa gak ada niatan jalan-jalan? Suami berharap, aku yang cari info dan bikin itinerary. Aku berharap, suami yang cari-cari karena aku gak pengalaman. Gitu aja terus sampai negara api menyerang.

Akhirnya, kami beneran pergi ke Paris setelah gagal pergi satu kali dan sekian ronde konflik suami-istri. Kami pergi cuma berbekal tiket bus pulang pergi, belum reservasi penginapan. Sampai di sana tengah malam lalu kami jalan ke masjid terdekat yang ternyata baru buka pas subuh. Kami sempat duduk dan nunggu di emperan gedung.

Meninggalkan semua kenyamanan, aku mencoba bersabar. Sabar ... Sabar ... sambil berusaha berpikir positif. Tapi ya, namanya masih awal nikah, belum kenal satu sama lain, adaa aja yang bikin berantem. Mulai dari aku yang males makan bekal di koper (padahal bekalnya itu buah-buahan yang berat kayak melon dan apel, terus koper itu kami seret berkilo-kilo selama jalan kaki di Paris), aku yang gak mau muncul mukanya kalau difoto (mungkin kamu pernah dengar paham ini menyebar di cewek muslim ITB), atau aku yang nampak gak atusias. Habisnya, capek jalan!
Muka lelah dan tidak antusias. Foto: dokumen pribadi. Kenang-kenangan di depan Arc de Triumphe (dan pengingat supaya bisa balik lagi ke sini dengan antusiasme yang harusnya jauh lebih baik)
Jadi, kami ngapain di Paris? Jalan kaki, foto-foto, liat Menara Eiffel, fotoin pesan-pesan di kertas dengan background Eiffel, ke Museum Louvre, liat Arc de Triomphe, dan diselingi dengan beberapa perselisihan.

Se-tidak excited itu, saudara-saudara! Kalau aku bisa naik mesin waktu ke masa itu, aku bakal cubit diriku sendiri 6 tahun lalu. Woy, sekarang jangankan mau keluar US, keluar state aja cuma setahun sekali! Nyesel banget, kan dulu gak bisa menikmati jalan-jalan di Paris :'(
Capek deh, pinginnya jalan-jalan malah berantem melulu. Foto: dokumentasi pribadi di dalam Museum Louvre
Ternyata, semua memang perlu waktu. Setelah hampir 6 tahun menikah kami belajar lebih memahami satu sama lain. Dan ternyata, perkara jalan-jalan ke landmark atau tempat aesthetic itu bukan cuma soal teknis (sebagus apa tempatnya, gimana itinerary-nya, dll), tapi tentang mindset orang yang mau berkunjungnya kayak gimana. Toh, percuma kan udah jauh-jauh sampai di Paris pas bulan madu tapi cuma ngambek-ngambekan sama pasangan?

Aku harus memulai dengan mensyukuri dan menikmati hal kecil. Itu sebabnya kami juga sering sepedahan dua tahun terakhir di sini. Supaya aku belajar melihat pemandangan sekitar dan mengambil hikmah dari apa yang aku lihat.

Aku juga belajar memunculkan excitement setiap hari. Belajar cari-cari sendiri tempat yang mau dikunjungi dan belajar meyakinkan suami kalau tempat itu worth it. Gak harus jauh, cukup ke landmark di Downtown Chicago dan sekitarnya.

Misalnya, ke The Bean (atau Cloud Gate) di Millenium Park. Sebenernya kami udah beberapa kali mengunjungi instalasi seni seberat 110 ton ini, bahkan kadang kami pergi ke sini saat cuaca yang tidak bersahabat: bersalju dan suhu mendekati 0°C. 
Tuh kan, sebagian Cloud Gate ini masih ada saljunya. Tapi, keliatan bedanya gak, ekspresi wajahku antara yang ini dan foto di depan Arc de Triumphe?

Tapi aku berusaha excited sebisa mungkin setiap ke sini. Betul saja, pasti ada yang beda setiap saat kami melihat patung berbahan steel ini. Misalnya, pantulan bayangan yang dihiasi salju tentu tidak akan terlihat ketika kami mengunjungi Cloud Gate di musim yang lain.

Landmark di Chicago kebanyakan gedung-gedung tinggi yang secara sejarah maupun arsitektur memang menarik untuk dibahas. Sayangnya, kalau dituliskan semuanya untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, mana muat 1000 kata doang. Jadi, aku kasih liat satu landmark lagi yang bisa dibahas singkat, yaitu Buckingham Fountain. 
Dokumentasi pribadi. Hasil screenshot videonya suami wkwk

Air mancur ini termasuk salah satu air mancur terbesar di dunia dengan semprotan air tertinggi sampai 150 ft (45.72 meter). Air mancur ini terdiri dari 3 pompa air super besar dengan yang paling besarnya bisa mengalirkan air sebanyak 26.000 liter permenit! Selain itu, air mancur ini juga dilengkapi dengan 133 water jet.

Buckingham Fountain merupakan hasil sumbangan dari Kate S. Buckingham (1858-1937), anggota terakhir dari keluarga Buckingham yang tinggal di Ohio. Ia adalah seorang kolektor karya seni dan filantropi (suka mendonasikan karya seni yang dimilikinya ke Art Institute of Chicago). Pertengahan tahun 1920, ia memberikan dana untuk pembangunan Buckingham Fountain sebagai memorial atas kakak laki-lakinya, Clarence Buckingham yang juga sesama kolektor.

Proyek ini digawangi oleh arsitek Edward H. Bennett dan seniman patung Marcel Loyau. Pembangunan air mancur ini memakan waktu dua tahun dan diresmikan pada Agustus 1927. Kate S. Buckingham sendiri yang memantau pekerjaan ini untuk menyesuaikan warna lightning yang diinginkan, yaitu soft moonlight

Meskipun dekat dan aku bisa sering berkunjung ke sini, aku belajar untuk tetap excited: berusaha menikmati semua pemandangan ini sebelum hilang, entah karena aku pindah, atau ada takdir lain yang membuatku harus meninggalkan Kota Chicago.

Di Paris, aku tidak jatuh cinta, sekalipun aku baru merasakan indahnya awal pernikahan. Di Chicago, aku belajar membangun cinta, kepada pasangan dan diri sendiri. Soalnya, dengan aku bisa menikmati pemandangan yang biasa aku lihat, yang mungkin terkesan remeh, aku belajar mensyukuri hal kecil. Sehingga akan mudah bagiku untuk mensyukuri hal yang besar. 


Apresiasi yang didapat artikel ini:

Salah satu dari lima artikel paling unik
Satu-satunya yang mendapat surprise reward
Ilma Purnomo (Mama Razin)
Perempuan Indonesia yang saat ini tinggal di Chicago, USA, menemani suami kuliah doktoral. Seorang ibu rumah tangga yang disibukkan oleh dua putranya (Razin dan Zayn). Suka menulis dan belajar hal baru.

Related Posts

3 komentar

  1. Coba ada mesin waktu untuk balik ke taun ke Paris itu, kita bisa kontak2an tuker2an informasi meski mungkin ga bisa langsung ketemu ya 🤗
    Tapi skrg semua itu jadi cerita seru kan!? 😉

    BalasHapus
  2. Ehehehe honeymoon-nya sedih tapi lucu, Mamah Ilma. :)

    Btw pertama kali tahu Mamah Ilma tinggal di Chicago, saya langsung membatin, "wow, that's very fortunate of her..", karena kebayang Wicker Park, gara2 dulu suka banget sama film itu. Sama umm serial "The Good Wife". Film-film dan buku bacaan memang paling bisaan mempengaruhi saya buat pengen berkunjung ke suatu tempat. Ehehehe.

    BalasHapus
  3. Ehehe. Jadi refleksi diri sendiri nih aku teh. Nggletak medsosan di kamar dan berujung negara api menyerang.hahaha. ditunggu ceritanya di chicago yang lebih panjang teh!

    BalasHapus

Posting Komentar