Ilma Hidayati Purnomo

Camping Pertama Kali dan Jatuh Dari Sepeda. Wajahku Babak Belur!

Tulisan ini berisi perenunganku atas berbagai kejadian yang terjadi dalam bulan terakhir. Semoga teman-teman yang membaca juga bisa mengambil hikmah atas semua kejadian ini.

Buibu, pernah nggak ngerasa capek dengan semua rutinitas yang dilakukan sebagai istri dan ibu? Rasanya waktu 24 jam nggak cukup buat masak, memenuhi kebutuhan biologis anak-anak, ngurusin rumah, dan memenuhi tuntutan suami. Duh, rasanya pingin libur seminggu aja! Andai ada yang ngurusin semua itu dan kita bisa istriahat sejenak. Lalu, bagaimana jika permintaan itu dikabulkan justru dengan cara yang kita nggak suka?

Itulah yang terjadi kepadaku. Mendadak aku mengalami kejadian yang membuat fisikku tak mampu mengurus rumah tangga. Suami meng-handle semua. Tapi, apakah aku menikmati waktu istirahatku? Justru rasa sakit dan penyesalan yang kurasa. Namun, dari kejadian itulah aku belajar banyak sekali hikmah. So, baca terus sampai akhir dan mohon doanya semoga aku sehat selalu ke depannya!

Pengalaman Camping Pertama Kali

Menyusun Tenda di Taman

Setelah bulan Maret lalu sibuk dengan kegiatan membeli alat-alat camping dan gladi resik, akhirnya Minggu, 24 Juli kemarin jadi juga nyobain camping di luar apartemen. Mendadak suamiku ngajak ke bike trail dan taman yang dikunjungi di hari sebelumnya jam 4 sore. Buru-buru aku siapin anak-anak dan masukin semua barang ke mobil.

Sesampainya di North Branch Trail, sekitar 1 jam naik mobil dari apartemen, kami langsung cari tempat parkir di area pemukiman. Merakit sepeda, lalu menuju ke bike trail. Pas di jalan, aku baru sadar, aku pakai celana jeans yang ketat. Walhasil, pas ngayuh sepeda, tungkaiku terasa seperti dicekek dan membuatku mudah lelah. Hari sebelumnya, aku pakai celana kain dan karena sudah dipakai sampai berkeringat, tentu aku tidak mau menggunakannya lagi.

Suami agak protes, kenapa aku harus pakai celana jins yang tidak nyaman untuk bersepeda. Akhirnya aku diminta mencoba posisi duduk di sepeda yang cocok sembari ia mencari area untuk menggelar tenda. Aku mengayuh sepeda selama 5 menit, meninggalkan suami dan anak-anak, dengan posisi sadel yang tinggi. Ternyata lumayan mengurangi cekikan celana ke pahaku.

Sekembalinya aku, ke taman, kami langsung bongkar barang muatan dari trailer. Mulai menyusun tenda hingga memompa kasur udara. Kami pun menikmati tiduran di luar rumah dengan tenda untuk pertama kalinya. Dari balik pintu tenda, kami bisa melihat hamparan langit biru yang luas. Bisa menatap langit seperti itu aja seneeeng banget. Kayak ada kepinginan masa kecil yang dulu belum kesampaian, sekarang bisa terwujud.

Kami menghabiskan waktu sekitar setengah jam menikmati angin sepoi dari dalam tenda. Kemudian kami memutuskan untuk berkemas dan memulai petualangan dengan sepeda. Hal ini bisa dibilang sudah menjadi kebiasaan kami, setiap akhir pekan bersepeda sekitar 2 jam lamanya. Hari itu, kami mulai berangkat bersepeda sekita jam 7 sore. Hari masih terang karena di musim panas, matahari terbenam sekitar pukul 8:30.

Jatuh dari Sepeda untuk Pertama Kalinya

Awalnya, kami hanya bersepeda di area yang datar. Mengunjungi salah satu monumen yang mirip Menara Pisa di Italia lalu suami memintaku menunggu di sana sembari ia ingin membeli jajan. Selama menanti, aku memang menjaga sepeda yang dipakai suami, yang tersambung ke trailer anak-anak. Sebab trailer itu sangat berat dan kurang seimbang, sepeda yang aku jaga harus aku tekan ke bawah di bagian sadelnya. Kalau nggak, trailernya pasti nggeblak (jatuh ke belakang).

Saat itu, aku justru terpikir bagaimana jika suami celaka. Apa yang harus aku lakukan dalam kondisi itu? Bagaimana aku menyikapi situasi seperti itu? Apakah panik atau tetap tenang? Tak pernah terbayangkan kalau justru beberapa menit setelahnya, akulah yang celaka.

Suami kembali dari toko dan mengabarkanku kalau tempat jajannya sudah tutup. Ia kembali mengendarai sepedanya hingga kami masuk ke area bike trail. Jalur sepeda di sini tikda lagi datar, ada naik dan turunnya. Lalu, suami memintaku menggunakan sepedanya, ia yang mengendarai sepedaku. Awalnya aku mengiyakan dengan sedikit ragu. Apalagi ia memberi wejangan yang tidak biasa, "Kamu harus stabil loh, ya!" Jujur, saat itu aku nggak terpikir sama sekali konsekuensinya.

(Video di atas diambil di lain waktu dengan kondisi trailer hanya ditumpangi dua anak. Saat kejadian yang aku tulis di bawah ini, di bagian belakang kursi yang ditumpangi anak-anak berisi perlengkapan kemah yang total beratnya bisa mencapai belasan kilogram)

Sekitar sepuluh menit kemudian, aku melewati jalanan turunan. Aku ingat pesan suami untuk mengerem sepeda dengan lebih selow, karena kalau terlalu sering ngerem, kampas remnya bisa cepat habis. Alasannya, karena sepeda yang kupakai kan menarik trailer yang bebannya berat. Entah bagaimanya, tiba-tiba saja trailer mulai tidak stabil. Ia meliuk ke kanan dan ke kiri. Wiggle-wiggle gitu. Sedetik kemudian, aku oleng dan jatuh ke sisi kanan. Wajahku menghantam aspal.

Syukurnya aku bisa bangun. Sambil mengerjap perlahan karena mata kananku terasa sakit, aku membalikkan badan untuk mengecek anak-anak. Trailer yang ditumpangi anak-anak sampai terbalik. Tapi aku masih sempat membantu suami untuk membalik trailer sambil menuju ke pinggir. Sedangkan suami mengumpulkan barnag-barang dari dalam trailer yang berjatuhan.

Kedua anak kami tentu saja menangis. Langsung saja aku sodorkan kreker kesukaan mereka. Sambil menahan rasa sakit, aku memperhatikan mereka. Alhamdulillah, anak-anakku hampir tidak mengalami satupun lecet. Sedangkan aku? Yang kulihat dari luar, tangan kananku luka-luka dan lebam. Aku pun merasa ada sesuatu yang mengalir di pipi. Jujur, aku takut sekali. Takut kalau aku mengalami pendarahan.

Ternyata yang mengalir hanyalah air mata. Di sana, meskipun suami sedikit menyalahkanku, kenapa nggak jatuhnya ke semak atau menurunkan kaki saat merasa oleng, ia berusaha sekuat tenaga untuk menenangkanku. Ia begitu tenang menghadapi keadaan seperti itu. Bagi ia, kecelakaan yang sudah terjadi, ya terjadi saja. Yang penting kita bersyukur dan mengambil hikmah. 

Ia meminta aku untuk menenangkan diri dulu sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang. Aku dan anak-anak diminta menunggu di satu spot sembari suami mengambil mobil dari parkiran yang agak jauh. Perasaanku sangat campur aduk. Ini pertama kalinya aku jatuh dari sepeda setelah sekian lama nggak naik sepeda lagi. Mungkin, terakhir kali jatuh dari sepeda ya, waktu latihan naik sepeda, pas aku masih TK.

Kondisiku Setelah Kecelakaan

Tentu saja, setelah jatuh, aku tidak bisa menyetir mobil. Selama ini, setiap pergi ke manapun termasuk ke luar kota, biasanya aku yang menyetir. Suami yang memberi arahan jalan. Kali ini, aku yang duduk di kursi penumpang dan memberi arahan. Alhamdulillah, aku masih 100% aware dan sadar. Itu tandanya, aku nggak mengalami gegar otak.

Pulang ke rumah, aku langsung membuka pakaian dan mencuci luka. Aku melihat bagian kanan wajahku bengkak dan lebam. Darah keluar dari lubang hidung sebelah kanan. Hidung sebelah kanan, bibir hingga pipi mati rasa. Kepala sebelah kanan sakit, geligi barisan kanan juga ngilu, nyut-nyutan. Bagiku yang pernah lahiran normal sebanyak dua kali, lebih mending rasa sakit lahiran daripada jatuh dari sepeda dengan wajah membentur aspal.

Jatuh dari Sepeda

Malam itu, aku mual, nggak bisa makan. Sakit di wajah dan kepala juga kayak ngga ada habisnya. Walaupun dibawa tidur, aku nggak bisa tidur lelap. Hingga akhirnya, tengah malam aku tetap kebangun dan berusaha makan sebisa mungkin dan minum obat pereda rasa sakit, ibuprofen.

Semua urusan rumah tangga mendadak ditangani suami semuanya. Suami bilang, seminggu ke depan aku istirahat aja. Ya memang istirahat, tapii.... Rasa menyesal dan rasa sakit sepertinya bersaing di dalam otakku. Betul, aku bisa istirahat full. Namun, anak-anak rewel karena mamanya ada secara fisik tapi nggak bisa nemenin main. Makan pun jadi sekenanya, semudah goreng ayam, ikan, atau telor yang penting makan nasi. Jadilah berat badanku anjlok dan rambutku rontok karena makannya kurang terjaga.

Hikmah Kecelakaan

Kejadian apapun yang terjadi dalam hidup pastinya Allah izinkan terjadi dengan sebuah maksud: supaya manusia belajar. Bagiku, dalam keadaan sakit seperti itu, aku lebih banyak introspeksi diri karena aku lebih punya banyak waktu untuk berpikir. Biasanya waktuku habis untuk menyiapkan kebutuhan seluruh anggota keluarga di rumah.

1. Berhati-hati dalam ngebatin

Kita mungkin sudah sering mendengar nasihat berhati-hati dalam berbicara, tapi bukankah Allah juga mengetahui isi hati kita? Bagaimana jika selintas harapan yang tak sengaja sering kita ucapkan di dalam batin ternyata Allah kabulkan juga?

Begitulah yang aku rasakan. Sering sekali aku merasa capek mengurus dua anak satu suami dan berbagai urusan rumah tangga. Memenuhi tuntutan suami, berusaha mencari me time dengan ngeblog, ngurusin komunitas. Aaa... rasanya badan rontok dan kepala mau pecah. Pingin istirahat seminggu aja dan semua itu ada yang ngurusin. Ya inilah yang Allah kabulkan.

Terjadilah kecelakaan yang membuat aku mengalami sakit kepala terus-terusan. Jelas, nggak bisa ngapa-ngapain, cuma disuruh istirahat, tiduran. Memang enak, bisa istirahat cepet. Akhirnya shalat juga jadi selalu di awal waktu (biasanya kan sibuk ngurusin anak-anak dan suami hingga shalat jadi mepet-mepet ditambah pendeknya jarak Shalat Isya ke Shalat Subuh, walhasil sering Shalat Subuh pas udah terang). Tapi, banyak hal juga yang dikorbankan, salah satunya anak-anak.

2. Kangen dengan lelahnya mengurus anak

Selama seminggu aku sakit, memang suami yang mengurus mereka full, sampai mandiin dan nyebokin. Tapi, begitu liat aku melek dikit, mereka langsung merengek ke aku. Mana kalau nggak aku turutin, Zayn pasti nangis teriak-teriak, tantrum deh dia. Di situ aku merasa sedih, kejadian pas bawa bayi Zayn pulang dari RS untuk pertama kalinya dan Razin merasa terabaikan seakan terulang lagi. Belum lagi, aku harus tega kalau anak-anak berulah dan didisiplinkan ayahnya. Udah mah aku sakit kepala, denger anak nangis terus-terusan.

Hingga hari Jumatnya, aku ditinggal di rumah cuma sama anak-anak pas suami Jumatan. Di situ aku punya kesempatan ngasuh mereka lagi, memanjakan mereka lagi. Terus aku bacain mereka buku sampai ketiduran. Mereka meluk aku sambil tidur. Momen itu bener-bener bikin aku terharu, ada rasa rindu luar biasa bisa mengasuh mereka secara full, meskipun aku akui, aku juga sering nggak sabar ke mereka. Tapi saat itu, rasa haru bahkan mengalahkan rasa sakit di kepalaku.

Padahal biasanya kalau aku tiduran, susah cari posisi yang pas, biar nggak terlalu sakit. Tapi pas tiduran ala kadarnya sambil diapit anak-anak, secara ajaib rasa sakit itu hilang dan aku bisa tidur sama mereka. Di situ aku jadi sadar, keinginan aku buat istirahat dari ngurus mereka itu egois dan nggak bermanfaat untuk diri sendiri juga. Kenyatannya, kebahagian bersama mereka juga membuat aku bahagia.

3. Tau prioritas

Selama sakit, aku hampir nggak menyentuh HP. Semua tanggung jawab di luar rumah yang aku emban, langsung aku delegasikan atau aku minta keringanan sembari menjelaskan situasi yang aku alami. Di sana aku sadar, prioritas utama aku memang harusnya ya, cuma ngurus anak dan suami. Meskipun "cuma", tetep aja udah menghabiskan jatah 24 jam sehari. 

Biasanya, aku merasa tertekan di akhir pekan. Sebab, ada grup ibu-ibu di sini yang selalu ngajakin piknik tiap akhir pekan. Padahal, selama 3 tahun tinggal di sini, biasanya aku ketemuan dan ngumpul-ngumpul sama orang Indonesia cuma setahun sekali atau dua kali. Tiba-tiba aja bulan kemarin dimasukin ke grup ibu-ibu yang bahkan tinggalnya nggak di kota Chicago, masih ke utara lagi. Aku sampai lelah mencari alasan supaya nggak harus ikut piknik.

Bukan, aku bukan anti sosial. Aku introvert, iya, tapi aku juga punya prtioritas lain. Suami juga menuntutku punya rencana jalan-jalan tiap akhir pekan. Padahal ya, aku tuh dulu orang rumahan bangeet. 20 tahun aku hidup sama orang tua, jarang banget jalan-jalan dan sekarang kayak harus jalan-jalan tiap akhir pekan. Kebayang nggak sih, gimana rasa terpaksa dan tertekannya?

Maslahnya lagi, suami nggak suka dengan ide "piknik" doang di akhir pekan. Jalan-jalan ala suami itu: harus sehat (makannya kami sepedahan sekitar 2 jam tiap weekend), gratis (sepedahan di bike trail kan gak bayar), simple, dan lebih banyak menikmati alam. Sedangkan piknik kan cuma duduk, makan, dan ngegosip. Sulit mencari faedahnya dibanding sepedahan dan menikmati keindahan alam yang Allah ciptakan.

4. Sabar

Ini dia pelajaran yang paling berat buat aku. Sabar. Nggak tau kenapa, sejak menikah dengan suami 5 tahun lalu, ada aja kejadian yang bikin aku harus sabar. Mungkin dulu hidup hampir 23 tahun sama ornag tua, aku sering dimanjakan jadi nggak belajar tentang kesabaran. Padahal, skill sabar itu penting untuk menjalani kehidupan.

Salah satunya, sabar dalam mengemban tanggung jawab. Aku melihat betapa suami sabaaar banget ngasuh anak-anak pas aku sakit. Ternyata ya, karena dia mengambil alih tanggung jawab itu dari aku dan sebagai bentuk tanggung jawabnya, ia sabar menangani anak-anak. Itu pula yang seharusnya aku lakukan. Saat mengemban tanggung jawab mengasuh anak-anak, aku juga harus sabar. Kalau sampai di titik aku nggak sanggup, berarti saatnya didelegasikan.

Selama sakit, aku juga sering mengeluhkan betapa sakitnya kepalaku. Ia cuma bilang, sabar. Penyembuhan butuh waktu. Istirahat aja, karena sel-sel penyembuhan dapat energi pas kita istirahat. Sakit juga nikmat dari Allah. Positif thinking aja, kan jadi bisa banyak istirahat sekarang.

Ah lega rasanya. Nggak papa jatuh, jadi pengalaman belajar jatuh yang baik. Nggak papa sakit, insya Allah jadi penggugur dosa. Bener-bener banyak banget pelajaran kehidupan yang aku dapat setelah berumahtangga. Mulai dari ikhlas, sabar, hingga berpikir positif. Ujung-ujungnya, ya supaya punya hati yang bersih. Itu kan yang Allah inginkan? Sebab amalan bisa dipercantik sehingga orang melihatnya baik. Namun, perkara hati? Orang lain nggak bisa lihat, hanya Allah yang tahu.

Tulisan ini menjadi reminder buat aku pribadi. Semoga teman-teman yang baca mendapat hikmah juga!

Ilma Purnomo (Mama Razin)
Perempuan Indonesia yang saat ini tinggal di Chicago, USA, menemani suami kuliah doktoral. Seorang ibu rumah tangga yang disibukkan oleh dua putranya (Razin dan Zayn). Suka menulis dan belajar hal baru.

Related Posts

8 komentar

  1. Ya Allah mbaak sampe gitu wajahnya. Sekarang gimana keadaan di sana mbak? Sudah baikan? Semoga lekas pulih ya mbak.

    BalasHapus
  2. Enggak bisa membayangkan gimana rasanya mbak sakitnya sampai babak belur begitu, pasti jadi reminder buat pembaca juga ya, strong luar dalam mbak ilma

    BalasHapus
  3. Niat hati mau liburan tapi ternyata juga harus berlatih sabar ya Mba, seru bgt dan terlihat lancar padahal ya Mba waktu naik sepeda dan tarik trail. Tapi qadarullah ya emg disuruh istirahat plus sabar

    BalasHapus
  4. masya Allah bagaimana kondisi hari inimbak,.. duh aku ikut merinding dengan nasihatnya mbak, ya tampaknya akupun juga peru menerapan wejangan dari mbak ilma terutama bab prioritas dan sabar. mbak ilmaaaaan smoga kita diizinkan bertemu di dunia nyata ya insya allah

    BalasHapus
  5. Syukurlah kalau kondisinya juga tidak terlalu parah. Aku malah ngebayangin gimana anak-anak saat kejadian itu. Semoga saat ini sudah pulih dan kembali beraktivitas seperti sedia kala

    BalasHapus
  6. Teh udah sembuh kan lebamnya? Kadang kala rasanya lelah memang urus anak, suami, rumah. Tapi kalau ingat itu bentuk jihad istri/ibu ke keluarga, insya Allah makin ikhlas. Anggap aja panen pahala. Aku kayanya beberapa jam off ga urus/mikirin rumah/keluarga juga Alhamdulillah hihi. Tapi kalau kelamaan kangen juga ngurusin ini-itu. Mungkin ngga betah diam aja

    BalasHapus
  7. Bersepeda sambil membawa trailer dengan beban berat memang harus stabil ya, jadi ingat kadang-kadang dulu bawa stroller anak-anak dan suka gantungin berbagai hal di stroller, kalau ga ditahan bisa tiba-tiba jatuh ke belakang tuh strollernya.

    Sekarang gimana kondisinya teh? Semoga udah hilang ya bekas-bekasnya. Dan untungnya anak-anak nggak apa-apa ya teh.

    Makasi buat reminder buat hati-hati ngebatin sekalipun teh, memang apapun yang dilakukan harus tetap hati-hati dan disyukuri aja ya teh.

    BalasHapus
  8. Ya ampun teh.. sampai lembam begitu ;( aku dulu pas anak2 kecil pernah minta dibelikan suami trailer kayak gitu, tapi nggak dibolehin. Mungkin beliau udah expect istrinya gak stabil hihi.

    Tetap semangat teh mengurus keluarga tercinta, dan sekali2 nanti dicoba lagi campingnya ;)

    BalasHapus

Posting Komentar