Ilma Hidayati Purnomo

Tips Membatasi Screen Time pada Balita dan Anak

"Screen time anaknya berapa jam sehari, Bu?" Tanya perawat ketika aku membawa putraku untuk check up rutin. Aku biasanya menjawab satu jam perhari. Kalau teman-teman biasa menjawab berapa jam?
Generos Multivitamin Otak Anak
Sumber: https://pixabay.com/photos/television-kids-cartoons-movie-tv-5017868/
Sejujurnya, aku tidak benar-benar mengukur berapa lama anakku mendapatkan screen time, karena memang keluarga kami menerapkan metode parenting yang cukup bebas. Meskipun bebas, anak-anak kami, yang pertama berusia 4 tahun dan yang kedua berusia 2 tahun, hampir tidak pernah menonton layar sendirian.

Namun, aku bisa mengatakan anak-anakku mendapat NOL screen time dengan tegas ketika kami memang sedang dalam keadaan ideal. Ya, aku cukup berani mengatakan itu sebab anak-anak kami sama sekali tidak kencanduan nonton. Kok bisa? Penasaran? Ini dia tips membatasi screen time pada balita yang kami terapkan ke keluarga kami.

1. Tidak punya televisi

Yuk, tunjuk jari, siapa yang di rumah tidak punya televisi? Sepertinya jarang sekali, ya. Kami tidak punya televisi bahkan sejak aku menikah dengan suami. Kami menilai televisi kurang memberi manfaat karena siaran yang tersedia dirasa kurang memenuhi ekpektasi kami.

Tapi jangan salah, kami punya beberapa monitor di rumah. Kami tetap cukup sering menonton video dari YouTube. Kami pilah dan pilih secermat mungkin, video apa yang layak menjadi tontonan kami. Sejauh ini, tontonan kami berkisar travelling, ilmu pengetahuan modern, food review, dan bahkan video bongkar pasang mesin mobil. 

2. Ayah punya kendali penuh

Kami hanya menonton layar ketika suamiku sedang makan. Ia memang punya kebiasaan makan sambil memasukkan informasi yang sifatnya recreative, tapi bermanfaat. Barangkali, itu salah satu metoda untuk membuat otaknya rileks dari kegiatannya sebagai peneliti doktoral.

Ia biasa menonton video sambil makan selama 30 menit sampai satu jam kemudian mulai mengerjakan risetnya. Kebetulan, ia telah melakukan work from home sejak pandemi. Ketika ia selesai makan dan mematikan video, anak-anak harus patuh. Kalau ada yang rewel, justru akan didisiplinkan.

Suamiku hanya makan dua kali sehari, waktunya tidak tentu, kadang pagi bisa juga agak siang. Itu berarti, waktu screen time anak-anak maksimal dua jam sehari. Nah, dalam keadaan ideal, ketika suamiku makan di saat anak-anak sudah aktif bermain, aku biasa ajak mereka main ke taman sehingga ada kalanya anak-anak memang tidak mendapat screen time sama sekali dalam satu hari.

Kadang-kadang, suamiku memang mengajak mereka nonton film anak-anak untuk mengasah kemampuan berbahasa. Lagi-lagi, suamiku punya kendali penuh untuk memberhentikan film di tengah-tengah adegan untuk membatasi lamanya anak-anak menatap layar. Tidak jarang, kami menonton satu film dibagi dalam dua atau tiga sesi.

3. Anak menonton bersama orang tua

Jarang sekali kami mengizinkan anak menonton sendirian, kecuali ada dua alasan yang terpenuhi. Pertama, aku sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk mengurus mereka secara full, seperti ketika aku baru saja cabut gigi dan aku membutuhkan ketenangan situasi rumah sambil memasak. Kedua, kami tahu pasti tontonan apa yang diberikan ke mereka. Biasanya berkisar video Sesame Street atau serial video anak-anak dari Apple TV.

Ada satu judul yang ceritanya begitu halus dan penyampaiannya sangat apik. Judulnya, Stillwater. Serial video ini bercerita seekor panda bijak yang memberi pelajaran kehidupan kepada anak-anak tanpa menggurui melalui story telling. Wah, bahkan aku sendiri sangat menikmati menonton video ini.

4. Memaksimalkan kegiatan bermain

Jujur, aku bukanlah orang yang cukup kreatif untuk membuat DIY project. Selama ini, aku memang sering membiarkan anak-anak melakukan free play, asalakan tidak berbahaya. Nyatanya, selama bermain bebas, anak-anak juga belajar banyak hal, mulai dari ketelitian, kesabaran, hingga komunikasi antar kakak dan adik. Tentu akan lebih baik lagi jika orang tua bisa memfasilitasi anak-anak untuk belajar selama situasinya tidak kaku seperti di sekolah.

Tetap saja, kami terkadang menemani anak-anak bermain untuk memicu keseruan mereka. Ada kalanya mereka tampak bosan dan perlu stimulasi dari orang tua. Kami juga kadang memberi contoh kreatifitas supaya mereka punya variasi bermain.

5. Kegiatan orang tua dan anak

Orang Tua Bermain dengan Anak
Sumber: https://pixabay.com/photos/father-son-bicycle-relationship-1822528/
Orang tua memang perlu terlibat dalam berbagai aktivitas anak. Sesederhana menemani bermain, asalkan dilakukan dengan fokus, meskipun hanya satu jam, sudah memberikan motivasi bagi anak untuk aktif bermain sendiri. Anak berusia balita sudah mulai asyik bereksplorasi dengan dunianya, apalagi ketika kita ajak mereka ke taman bermain. Berjam-jam berkegiatan fisik pun dirasa belum cukup. Jadi, kapan lagi anak akan ingat dengan screen time jika sudah seperti ini?

6. Membaca buku

Aku merasakan sendiri manfaat membaca buku secara rutin kepada balita. Anak pertama kami sudah mengenali puluhan hewan ketika usianya satu setengah tahun, bahkan sebelum berusia dua tahun ia sudah mengenali abjad, warna dan bentuk. Kala itu, aku memang belum sibuk dengan dunia blogging sehingga aku meluangkan seluruh waktuku untuk menemani anak bermain, benar-benar berada di sampingnya sepanjang waktu.

Berbeda dengan adiknya yang tidak aku bacakan buku sesering itu. Saat ini, anak kedua kami berusia satu tahun 10 bulan dan belum mengenal warna sama sekali. Ditanya nama-nama hewan pun hanya tahu beberapa saja.

7. Ketegasan orang tua

Anak lahir tanpa pengetahuan tentang menonton video. Mereka juga percaya penuh dengan apapun yang kita berikan. Oleh sebab itu, kendali screen time sebetulnya ada di tangan kita: apakah kita akan memberikannya dan seberapa sering.

Anak-anak kami tidak ada yang bisa menggunakan smartphone secara mandiri. Kami tidak menilai anak yang paham penggunaan teknologi sejak dini sebagai bagian dari melek teknologi sebab kami termasuk orang yang berkecimpung di bidang teknologi.

Aku adalah sarjana Teknik Elektro, sedangkan suami adalah sarjana Teknik Informatika yang sedang menjalani studi doktoral di bidang Computer Science. Tentu, teknologi sudah menjadi bagian dari hidup kami, bahkan kami mempelajarinya hingga dalam. Suami bekerja di depan layar komputer minimal 8 jam perhari. Namun, semua hal ini justru tidak menjadi landasan kami mengenalkan penggunaan teknologi sedini mungkin kepada anak.

Kami percaya bahwa anak-anak memiliki fitrah untuk belajar dari lingkungan sosialnya. Belajar berteman, berlari di taman, dan melihat hewan-hewan secara langsung adalah cara terbaik bagi balita untuk menstimulasi kecerdasan otaknya. Sekalipun kami memberi screen time kepada anak, kami tidak akan membiarkan mereka duduk diam dan pasif menikmati tontonan. Kami ajak diskusi mengenai apa yang ia tonton.

Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan kami, sebagai orang tua, kami memberi batasan yang tegas mengenai kapan anak-anak mendapatkan screen time dan seperti apa mereka bisa menikmatinya. Salah satu contoh, karena kami tinggal di apartemen yang hampir tanpa sekat, anak-anak memang bisa menghampiri Ayahnya yang sedang bekerja, kapan pun mereka mau. Terkadang, suami menonton video yang tidak cocok bagi anak-anak, dengan menggunakan headset. Ketika anak-anak mulai tampak mengintip tontonan Ayahnya, dengan tegas suamiku berkata, ini berbahaya. Anak-anak patuh dan mereka pergi ke ruangan lain untuk bermain.

8. Orang tua tidak punya kecanduan

Menjadi orang tua, berarti secara alami kita akan melepas ego sebagai pribadi. Pasalnya, ada makhluk kecil yang belum pernah hadir di muka bumi, bergantung kepada kita dan mengharapkan kita mengajarkan bagaimana cara hidup di dunia ini. Ini berarti, anak-anak kita harus masuk daftar teratas prioritas.
Generos Membantu Perkembangan Otak Anak
Sumber: https://pixabay.com/photos/mobile-phone-man-playing-5922635/
Memiliki kecanduan dalam bentuk apapun, berarti orang tua tersebut masih menempatkan kebutuhannya di atas kebutuhan anak, dalam artian yang kurang tepat, sebab hal yang menjadi candu umumnya bukan kebutuhan fisik yang krusial. Ambil contoh, orang tua yang kecanduan main game, nonton drama, dan scrolling media sosial. Perilaku seperti ini cenderung membuat orang tua lebih mudah mengabaikan anak.

Ada kalanya anak balita yang sedang anteng main sendiri tiba-tiba rewel dan meminta perhatian orang tuanya. Hal ini wajar. Nah, sayangnya, bagi orang tua yang punya kecanduan, hal ini dianggap mengganggu. Tidak jarang, screen time diberikan untuk membuat anak diam.

9. Screen time bukan bagian dari award maupun konsekuensi

Kami tidak terlalu sering menggunakan award dan konsekuensi dalam mendidik anak. Kami mengajarkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan, mereka juga harus menerima akibat yang ditimbulkan. Pasalnya, kami melihat adanya potensi hal merepotkan di balik pemberian award maupun konsekuensi.

Dengan menggunakan screen time sebagai bagian dari award dan konsekuensi, akan timbul dua akibat. Pertama, anak akan berbuat baik hanya karena nanti bisa nonton. Kedua, anak akan beranggapan screen time adalah sesuatu hal penting yang perlu diraih dan dipertahankan. Kami tidak ingin kedua hal tersebut terjadi pada anak-anak kami.

10. Bukan rutinitas

Meskipun di poin sebelumnya aku menyebutkan anak-anak biasa mendapat kesempatan menonton saat Ayahnya sedang makan, kenyataanya ini bukanlah rutinitas yang kaku. Alasannya, suami memang makan di jam yang tidak sama setiap harinya dan ada kalanya ia hanya menonton sendirian, anak-anak tetap diminta main mandiri. Kami tidak ingin, anak-anak meminta screen time di waktu tertentu karena sudah menjadi bagian dari rutinitas mereka,

Pada akhirnya, kami tidak menganggap dan tidak menanamkan kepada anak bahwa screen time adalah sesuatu yang spesial dan krusial. Screen time hanyalah hiburam dan salah satu sumber informasi. Anak-anak belajar dari stimulasi yang umumya harus mereka dapatkan secara natural, salah satunya dari lingkungan sosial.

Teman-teman mungkin sekarang akan bertanya, kenapa kita perlu membatasi screen time pada balita? Sebab, screen time yang terlalu banyak akan membuat otak balita menerima stimulasi yang berlebihan sehingga mengganggu perkembangannya, salah satunya bisa menyebabkan speech delay. Nah, mau tahu apa yang baik untuk perkembangan otak Si Kecil? Generos jawabannya!
Vitamin Mencegah ADHD
Sumber: https://generos.id
Generos sebagai nutrisi kecerdasan otak, memiliki lima bahan alami Quantum, yaitu ikan sidat, pegagan, madu hutan, mengkudu, dan temulawak. Ikan sidat memiliki protein yang lebih tinggi dari ikan salmon dan memiliki vitamin B1 dan B2 yang lebih banyak dibanding susu sapi. Pegagan mengandung zat asiaticosida yang mampu mengobati mental disorder, membantu memperkuat daya ingat, dan meningkatkan daya belajar pada otak (1).

Bahan-bahan lainnya tentu tidak kalah menarik dalam membantu fungsi otak menjadi lebih baik. Nah, Generos juga sudah mengantongi nomor registrasi BPOM dan sertifikat Halal MUI. Jadi, tidak perlu ragu lagi dengan kualitas produk ini, ya!

Yuk, mari kita kawal perkembangan Si Kecil dengan membatasi screen time dan memberikan asupan terbaik untuk otaknya!

Sumber:
(1) https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5587720/

Ilma Purnomo (Mama Razin)
Perempuan Indonesia yang saat ini tinggal di Chicago, USA, menemani suami kuliah doktoral. Seorang ibu rumah tangga yang disibukkan oleh dua putranya (Razin dan Zayn). Suka menulis dan belajar hal baru.

Related Posts

Posting Komentar