Agustus 2017 di ruang tunggu Bandar Udara Internasional Frankfurt, Jerman. Kami sedang transit dalam perjalanan pulang ke Indonesia dari Swiss. Tiba-tiba suamiku tampak tergesa merogoh ponselnya. Dengan berapi-api, ia mengutarakan keinginannya membuat kolam lele di rumah orang tuanya.
Setelah selesai menjelaskan rencananya kepada kedua mertuaku, aku mulai melancarkan protesku.
"Kamu mau ngeluarin uang 30 juta buat percobaan kolam lele ini? Dari mana uangnya?"
"Dari amplop nikahan kemarin, ada segitu uangnya, kan?" Ia bertanya balik.
Deg. Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku baru menyadari bahwa suamiku bukan orang sembarangan.
Menikah dengan Lelaki Sejuta Ide
Pemuda itu bernama Daniar. Ia berasal dari sebuah desa di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Ayahnya adalah seorang guru SMP sedangkan Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang punya segudang aktifitas. Beliau memiliki toko kelontong kecil-kecilan di belakang rumahnya dan aktif dalam kepengurusan perangkat desa. Meskipun lahir dari keluarga sederhana, Daniar bukan pribadi biasa saja.
Kami saling kenal karena pernah memgikuti suatu mata kuliah bersama. Meskipun begitu, sebenarnya kami kuliah beda jurusan. Kami juga tak pernah bertemu lagi sejak mata kuliah itu berakhir. Aku hanya tahu soal kabarnya lewat Facebook.
Yang aku tau, sebagai sesama mahasiswa S1, Daniar aktif dalam kegiatan student exchange maupun riset dengan universitas di luar negri. Mungkin terhitung sebanyak lima kali ia berkelana di negri orang selama ia kuliah dan tentunya, perjalanan yang ia lakukan didanai.
Singkat cerita, kami menikah dengan waktu perkenalan yang singkat. Dua bulan setelahnya, kami pergi ke Swiss karena suamiku mendapat kesempatan summer internship di lembaga partikel fisis CERN. Mungkin ini honeymoon paling enak. Bisa keluar negri, plus dapat gaji.
Selama di Eropa, aku baru menyadari pola pikirnya yang unik. Tontonannya adalah channel YouTube Smarter Every Day, Veritaserum, Vox, dan saluran lainnya yang informatif. Dari sana, ia melakukan proses pikir kreatif yang, bagiku, aku pun tak bisa berpikir sampai ke sana.
Salah satu yang ia lakukan, seperti yang aku ceritakan di awal. Ia langsung menelpon orang tuanya untuk membuat kolam lele berbekal video dari Facebook. Kolam ini dibuat dari terpal dan besi untuk membuat beton. Sangat cocok untuk lahan sempit. Suamiku berpikir, mungkin kolam ini bisa dibuat di rumah orang tuanya untuk mendukung perekonomian keluarga. Bahkan, jika berhasil, mungkin bisa membuka lapangan pekerjaan untuk tetangga sekitar.
Langkah Kecilnya untuk Indonesia
Tak terhitung berapa banyak ide yang sudah ia keluarkan untuk menyelesaikan problem di sekitarnya. Beberapa masih dalam tahap perancangan ide, beberapa sudah masuk tahap eksekusi, tapi ada juga yang sudah dieksekusi namun mandeg di tengah jalan.
Kalau ditanya, dananya dari mana? Jelas kami bukan orang berpunya. Suamiku bahkan masih mengurus keperluan wisudanya ketika kami menikah. Ia belum bekerja, hanya mengerjakan riset dengan profesor di luar negri dan mendapat upah yang tak banyak.
Kami bisa dapat uang dari mana saja. Karena bagi suamiku, yang penting ada ide, uang bisa dicari. Berbeda dengan orang yang punya uang tapi tak punya ide. Sampai kapanpun orang itu tak akan memulai apalagi sampai menjadi sukses.
Seperti yang aku bilang, gak semua idenya sukses berjalan. Kenyataanya, dana bukan satu-satunya halangan. Tidak adanya orang yang mau diajak bekerja sama, ilmu bisnis yang kurang, dan faktor alam adalah segelintir masalah yang datang dan membuat ide-ide cemerlang suamiku hanya berakhir menjadi topik diskusi semata.
Tak apa, begitu tanggapannya. Lebih baik mencoba lalu gagal, daripada tidak pernah mencoba sama sekali. Meskipun aku sendiri masih tak sanggup melihat uang yang sudah dikeluarkan lalu tidak didapat hasil yang memuaskan.
Apa saja ide-idenya yang sudah masuk ke tahap eksekusi?
1. Kolam lele untuk orang tua
Setelah perbincangan melalui telpon dari ruang tunggu Bandara Internasional Frankfurt, ayah mertua langsung coba buat miniatur kolam dengan terpal dan besi beton. Tidak sampai di situ, akhirnya suamiku terus mengejar ide ini ke tahap selanjutnya, mengubah pekarangan rumah yang tak terurus menjadi kolam ikan lele.
Prosesnya sangat panjang, juga menghabiskan tenaga, waktu, dan dana. Setelah habis puluhan juta rupiah, akhirnya ayah mertua punya tiga kolam lele berukuran 10 m X 7.5 m. Setiap pulang dari mengajar, beliau dengan telaten memberi makan ikan lele yang berjumlah puluhan ribu ekor.
2. Beasiswa untuk anak SMA
Berangkat dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan, suamiku menyadari betapa mahalnya pendidikan. Ia sendiri waktu kuliah ditopang oleh banyak beasiswa. Ia merasa sangat dibantu oleh program-program tersebut. Sekarang saatnya ia membantu siswa-siswa lainnya.
Suamiku, adiknya, dan beberapa teman semasa SMP dan SMA mendirikan Avatar, sebuah komunitas pemberi beasiswa dan pelatihan untuk anak-anak Trenggalek. Dulunya, mereka melakukan online meeting setiap pekannya, untuk menyeleksi penerima beasiswa maupun membahas program ke depannya. Sayangnya, program ini mandeg setelah setahun karena hampir semua pengurusnya sibuk dengan kegiatan akademik masing-masing.
3. Startup untuk bantu petani
Sebagai lulusan Teknik Informatika, membuat suatu sistem dengan bahasa program sudah menjadi ahlinya. Ditambah dengan keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat di sekitar rumah orang tuanya dan kemampuan problem solving yang memadai, suamiku sering tergerak untuk melakukan sesuatu untuk meningkatkan taraf kehidupan orang-orang yang membutuhkan.
Ia melihat petani Indonesia yang sulit maju. Sebagai orang yang pernah pergi ke Thailand dan melihat langsung majunya teknologi pertanian di sana, ia berharap petani Indonesia juga punya akses terhadap mesin-mesin modern. Namun, ia pikir, hal itu masih cukup sulit diwujudkan.
Ia pun berpikir, ketimbang memikirkan hal itu, kenapa tidak mencoba melakukan pemerataan penjualan hasil pertanian? Dengan berbekal sebuah website, ia bisa membuat daftar petani yang menjual hasil taninya dan orang-orang di sekitar tempat tinggal petani bisa membeli langsung darinya. Hal ini dapat memangkas ongkos, terutama menghindari tengkulak yang bisa menkatrol harga dan menimbun.
Usaha yang ia lakukan sudah banyak, mulai dari mengumpulkan teman-teman selama kuliahnya, hingga mencoba menghubungi dinas pertanian setempat untuk melakukan kerja sama. Sayangnya, startup ini tidak dilanjutkan karena keterbatasan ilmu bisnis.
Solusi untuk Toko Kelontong Ibuk
Garasi belakang rumah yang sangat luas Ibuk (ibu mertua) sulap menjadi toko kelontong. Namun, Ibuk jarang mengisi toko itu dengan barang dagangan. Alasannya, kadang males kulakan. Aku pernah ikut beliau ke toko grosir. Tempatnya kotor dan banyak sekali orang mengantri. Saat itu, aku menunggu hampir 2 jam lamanya.
Kadang ada juga yang mengatar barang dagangan ke toko Ibuk. Sayangnya, mungkin karena toko itu tidak begitu aktif, tidak ada lagi yang mengantarkan barang. Selain itu, harga barang-barang itu juga lebih mahal karena sudah melalui rantai distribusi yang jauh.
Suamiku jadi terpikir untuk membuat startup yang membantu toko kecil untuk beli barang dagangan. Namun, aku mencegahnya. Karena aku kenal dengan Aplikasi Super.
Aplikasi ini merupakan startup besutan Steven Wongsorejo untuk membantu pedangang kelontong seperti Ibuk supaya bisa kulakan dengan mudah dengan harga yang lebih terjangkau. Gimana nggak mudah, kita cukup unduh aplikasinya, buat akun, terus belanja deh. Persis belanja online buat beli baju. Tersedia harga eceran dan grosir untuk setiap barang.
Aku berpendapat, bahwa untuk membuat langkah kecil demi majunya Indonesia tidak harus dari ide sendiri. Kita bisa mendukung ide anak bangsa lainnya demi terciptanya perekonomian yang lebih baik. Suamiku setuju, meskipun dia masih keukeuh dengan ide-ide lainnya di tengah keterbatasan dana ðŸ¤
Posting Komentar
Posting Komentar